KPK Ungkap Budaya Permisif di Masyarakat, Ada Kepala Daerah Kena Kasus Korupsi Tapi Istri-Anaknya Kembali Terpilih
DOK VOI

Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan budaya permisif terhadap perilaku korup masih terjadi di tengah masyarakat. Tak hanya itu, dia menyebut penindakan terhadap pelaku tindak rasuah kerap kali tidak memberikan efek jera.

Ghufron mengatakan walau sudah banyak koruptor yang ditangkap oleh KPK namun praktik korupsi ternyata masih terus terjadi. Karenanya KPK meyakini penindakan saja tidak cukup tapi harus dibarengi dengan pencegahan dan penerapan budaya antikorupsi lewat sektor pendidikan.

"Lebih dari 1.000 sudah, pak, di 2004 sampai 2021. Lebih dari 1.000. Harapannya ditangkap, ditangkap, asumsinya kalau ditangkap jera. Tapi apakah jera, apakah takut? Faktanya tidak," kata Ghufron seperti dikutip dari YouTube KPK RI, Selasa, 7 Desember.

Keyakinan KPK jika penindakan tak menimbulkan efek jera bahkan terbukti karena banyaknya para pengganti kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, justru mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan, Ghufron mengatakan, ada satu wilayah yang kepala daerahnya terkena kasus korupsi tiga kali berturut-turut.

Tak hanya itu, Ghufron menyebut budaya permisif juga ditunjukkan oleh masyarakat. Alasannya, mereka masih mau memilih istri atau anak koruptor yang maju menjadi calon kepala daerah.

"Ada bupati kena (kasus korupsi, red) maka ada pemilihan bupati lagi. Siapa yang dicalonkan? Istrinya dan menang. Anaknya maju, bapaknya bupati kena, anaknya maju menggantikan. Apakah kemudian dicaci publik, apakah kemudian tidak dipilih publik? Tidak. Ternyata menang," ungkapnya.

"Ini menunjukkan apa? Menunjukkan publik seperti permisif terhadap koruptor saat ini. Bahwa kemudian kami jebloskan ke penjara mengakibatkan dia terhina, kan, nyatanya tidak. Faktanya, (keluarganya, red) masih dipilih publik," imbuh Ghufron.

Selain itu, Ghufron juga menyebut budaya permisif terhadap perilaku korup ini tampak ketika masyarakat mau menerima amplop dari calon kepala daerah. Mereka, sambungnya, bukan memilih orang terbaik tapi justru memberikan suara kepada pemberi uang.

"Mau pinter, mau terampil, mau berdedikasi, tidak punya amplop tidak dipilih, mau tidak berdedikasi tapi amplopnya tebal itu yang dipilih. Ini fenomenanya saat ini," ujarnya.

Dengan alasan ini, KPK kemudian bergerak untuk melakukan pencegahan dengan perbaikan sistem dan masuk ke dalam pendidikan antikorupsi bagi masyarakat. "(Ini, red) urgensinya kita melakukan pemberantasan korupsi atau pencegahannya menggunakan sektor pendidikan," pungkas Ghufron.