Hubungan Korupsi Kepala Daerah dan OTT KPK
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (Syamsul Ma'arif/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sejak KPK bertugas, ada sekitar 120 kepala daerah yang ditetapkan jadi tersangka dalam tindak pidana korupsi, seperti suap pengadaan, perizinan, maupun pencucian uang.

Angka ini diangap biasa oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang juga mantan Kapolri. Baginya, menangkap ratusan kepala daerah yang menyalahgunakan wewenang lewat operasi tangkap tangan (OTT) bukan sebuah prestasi yang bisa dibanggakan.

"Bagi saya yang mantan penegak hukum, OTT kepala daerah bukan prestasi yang hebat," kata Tito di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 18 November.

Dia bilang itu karena pilkada langsung memakan biaya yang tinggi, termasuk teknis dan nonteknis seperti biaya kampanye atau saksi. Kebutuhan yang tinggi tersebut membuat kepala daerah berpotensi melakukan korupsi saat terpilih.

"Untuk jadi kepala daerah, untuk jadi bupati kalau enggak punya Rp30 M, enggak berani. Gubernur lebih lagi. Kalau ada yang mengatakan enggak bayar, nol persen, saya pengin ketemu orangnya," kata Tito.

"Jadi kita sudah menciptakan sistem yang membuat kepala daerah itu tetap korupsi," tambah dia yang ingin mengevaluasi pilkada. 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah sepakat operasi senyap KPK yang bikin banyak kepala daerah jadi tersangka, mengindikasikan ada yang tidak beres dalam sistem demokrasi kita.

Ketika KPK tak melakukan penindakan terhadap kepala daerah yang korup, katanya, bakal banyak pihak yang tak peduli dengan dana politik saat pilkada. 

"Jika tidak ada pengungkapan kasus korupsi di daerah seperti ini, bukan tidak mungkin, banyak pihak yang akan berpikir kondisi (negeri) sedang baik-baik saja," kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin malam, 18 November.

KPK sebenarnya tak hanya mengandalkan penindakan tapi juga melakukan pencegahan korupsi. Program pencegahan itu diawali dari menggagas koordinasi dan supervisi pencegahan di seluruh daerah, usulan penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) hingga pencegahan di sektor politik termasuk terkait pendanaan politik. 

"Pencegahan itu dilakukan, selain agar risiko korupsi bisa lebih ditekan, KPK juga berharap masyarakat lebih menikmati anggaran yang dialokasikan ke daerah," ungkap Febri.

"Selain itu, yang terpenting adalah agar biaya proses demokrasi yang tidak murah ini tidak justru menghasilkan korupsi yang akibatnya bisa jauh lebih buruk pada masyarakat," imbuhnya.

KPK, lanjut Febri, tak akan tinggal diam bila suatu kejahatan itu telah terjadi. Apalagi, kejahatan ini terkait dengan kasus korupsi. 

"Jika kejahatan telah terjadi dan buktinya cukup, penegak hukum tidak boleh kompromi apalagi membiarkan kejahatan terjadi, apalagi tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa," tegasnya.

Lebih jauh, KPK mengajak Kemendagri untuk jadi mitra dalam mengatasi tindak korupsi yang marak terjadi di lingkungan kepala daerah. Karena, ini bukan saja jadi tugas KPK tapi juga tugas Kemendagri dan instansi terkait.

"Kami harap, Kemendagri nanti juga secara serius dapat menjadi partner yang kuat untuk mencegah korupsi di daerah. Tiga hal pokok upaya pencegahan yang digagas KPK tersebut sangat membutuhkan kontribusi kongkret dari Kemendagri dan instansi terkait lainnya," kata dia.