KPK Buka Kemungkinan Jerat Bupati Hulu Sungai Utara Terkait Pencucian Uang
Ilustrasi-(Foto: DOK ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang untuk mengembangkan kasus suap yang menjerat Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) nonaktif Abdul Wahid ke dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hanya saja, langkah ini harus didukung dengan alat bukti yang kuat.

Kemungkinan ini muncul karena Abdul diduga tak menyampaikan seluruh aset yang dimilikinya dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

"Apabila ke depan ditemukan adanya alat bukti dugaan menyamarkan asal usul harta benda yang mengarah ke TPPU, maka tim penyidik tentu akan menindaklanjutinya," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri kepada wartawan yang dikutip Jumat, 3 Desember.

Meski begitu, KPK kini lebih memilih untuk mengusut dugaan penerimaan suap dan gratifikasi yang dilakukan Abdul. Penyebabnya, pengusutan pencucian uang baru bisa dilakukan bila ditemukan dugaan perubahan bentuk dan penyamaran dari tindak korupsi sebelumnya.

Sementara terkait adanya aset lain yang dimiliki Abdul tapi tak dilaporkan, Ali bilang tentu hal ini akan ditelusuri oleh penyidik. Apalagi, saat ini ada sejumlah aset yang telah disita mulai dari klinik hingga uang dalam bentuk mata uang rupiah dan asing.

"Tim Penyidik sementara ini masih terus melakukan pendalaman terkait dengan dugaan penerimaan suap dan gratifikasi oleh tersangka AW. Ada beberapa aset milik tersangka yang telah disita di antaranya satu unit bangunan, mobil, dan sejumlah uang dalam bentuk mata uang rupiah dan mata uang asing," ujarnya.

Sebagai informasi, Abdul Wahid mencatatkan harta kekayaan sebesar Rp5.368.816.339 dalam LHKPN yang dilaporkan pada 31 Maret lalu. Dalam laporan itu, dia tercatat hanya memiliki dua tanah dan bangunan di Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan nilai Rp4.650.000.000.

Selanjutnya, dia tercatat memiliki kas dan setara kas dengan jumlah Rp718.816.339 dan tidak mencatatkan kekayaan lainnya seperti kendaraan maupun surat berharga lainnya.

Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan dan menahan Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid. Penetapan ini dilakukan setelah komisi antirasuh menetapkan tiga orang tersangka yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) pada 15 September lalu.

Adapun tiga orang yang sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan adalah Plt Kadis PU Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Maliki; Direktur CV Hanamas, Marhaini; dan Direktur CV Kalpataru, Fachriadi.

Dalam kasus ini, Abdul jadi tersangka karena menerima uang dari Plt Kepala Dinas PUPRP Maliki. Uang tersebut diserahkan sesuai permintaannya karena menunjuk Maliki.

Selain itu, Abdul juga menerima pemberian komitmen fee sebesar 10 persen dari proyek pekerjaan Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara tahun 2021 dengan jumlah Rp500 juta.

Berikutnya, ia juga diduga menerima uang sejumlah Rp4,6 miliar pada 2019; Rp12 miliar pada 2020; dan Rp1,8 miliar pada 2021. Uang tersebut diberikan sebagai komitmen fee dari proyek lain yang telah dikerjakan oleh pihak swasta.