KPK Sita Bangunan Milik Bupati HSU Nonaktif dan Mobil Ketua DPRD
Barang-barang yang disita oleh penyidik KPK terkait dugaan suap yang dilakukan Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) nonaktif Abdul Wahid (DOK Humas KPK)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita tanah dan bangunan milik Bupati Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, nonaktif Abdul Wahid. Penyitaan ini dilakukan berkaitan dugaan suap pengadaan barang dan jasa yang terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Utara pada 2021 sampai 2022.

Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri mengatakan kegiatan ini dilakukan pada Rabu, 24 November. Dia menyebut tanah dan bangunan tersebut dipergunakan sebagai klinik kesehatan.

"Tim penyidik KPK telah melakukan penyitaan berupa bangunan dan tanah yang diduga milik Tsk AW yaitu 1 objek tanah dan bangunan yg berlokasi di Kelurahan Paliwara, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabuapten HSU yang diperuntukkan untuk klinik kesehatan," kata Ali kepada wartawan, Jumat, 25 November.

Selain itu, KPK juga menyita satu unit mobil minibus berwarna abu-abu milik Ketua DPRD Kabupaten HSU.

Barang-barang yang disita oleh penyidik KPK terkait dugaan suap yang dilakukan Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) nonaktif Abdul Wahid (DOK Humas KPK)

Setelah penyitaan dilakukan, selanjutnya barang-barang itu akan dikonfirmasi lagi kepada pihak terkait. Tak hanya itu, Ali mengatakan, penyidik komisi antirasuah masih terus mengumpulkan dan melengkapi bukti yang dibutuhkan.

"Barang bukti dimaksud selanjutnya akan dikonfirmasi kembali kepada saksi-saksi yang terkait dengan perkara ini. Tim penyidik masih terus mengumpulkan dan melengkapi bukti-bukti terkait," ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, KPK telah menetapkan dan menahan Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid sebagai tersangka terkait dugaan suap pengadaan barang dan jasa.

Penetapan ini dilakukan setelah komisi antirasuh menetapkan tiga orang tersangka yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) pada 15 September lalu.

Ketiga orang ini adalah Plt Kadis PU Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Maliki; Direktur CV Hanamas, Marhaini; dan Direktur CV Kalpataru, Fachriadi.

Dalam kasus ini, Abdul jadi tersangka karena menerima uang dari Plt Kepala Dinas PUPRP Maliki. Uang tersebut diserahkan sesuai permintaannya karena menunjuk Maliki.

Selain itu, Abdul juga menerima pemberian komitmen fee sebesar 10 persen dari proyek pekerjaan Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara tahun 2021 dengan jumlah Rp500 juta.

Berikutnya, ia juga diduga menerima uang sejumlah Rp4,6 miliar pada 2019; Rp12 miliar pada 2020; dan Rp1,8 miliar pada 2021. Uang tersebut diberikan sebagai komitmen fee dari proyek lain yang telah dikerjakan oleh pihak swasta.