Ada Taliban dan Rezim Militer, PBB Tunda Pemberian Kredensial untuk Afghanistan serta Myanmar
Ilustrasi PBB. (Wikimedia Commons/Tom Page)

Bagikan:

JAKARTA - Komite PBB sepakat untuk menunda keputusan tentang siapa yang akan mewakili Afghanistan dan Myanmar di PBB, terkait dengan adanya klaim dari rezim militer dan Taliban.

Taliban dan rezim militer yang mengambil alih kekuasaan di Afghanistan dan Myanmar, 'bersaing' dengan duta besar yang ditunjuk oleh pemerintahan yang mereka gulingkan untuk kursi kedua negara di PBB.

Sementara, penerimaan PBB terhadap Taliban dan junta Myanmar akan menjadi langkah menuju pengakuan internasional yang dicari oleh keduanya.

Komite Kredensial PBB yang beranggotakan sembilan orang, yang meliputi Rusia, China dan Amerika Serikat, bertemu di markas besar PBB untuk mempertimbangkan kredensial bagi seluruh anggota PBB untuk sesi Majelis Umum yang saat ini berjumlag 193 anggota.

Beberapa diplomat mengatakan kepada Reuters, komite kemungkinan akan menunda keputusannya tentang perwakilan Afghanistan dan Myanmar dengan pemahaman, duta besar saat ini untuk kedua negara tetap berada di kursi tersebut.

Sementara ketua komite, Duta Besar Swedia untuk PBB Anna Karin Enestrom, mengatakan kepada wartawan keputusan telah ditunda, menolak berkomentar apakah duta besar saat ini untuk Afghanistan dan Myanmar masih akan mewakili negara mereka.

Komite yang juga mencakup Bahama, Bhutan, Chili, Namibia, Sierra Leone dan Swedia ini, sekarang akan mengirimkan laporannya tentang kredensial semua anggota ke Majelis Umum PBB untuk disetujui sebelum akhir tahun.

Baik komite dan Majelis Umum secara tradisional membuat keputusan tentang kredensial melalui konsensus, kata para diplomat.

Taliban, yang merebut kekuasaan pada pertengahan Agustus dari pemerintah yang diakui secara internasional, telah mencalonkan juru bicaranya yang berbasis di Doha, Suhail Shaheen sebagai duta besar Afghanistan untuk PBB. Duta Besar PBB saat ini yang ditunjuk oleh pemerintah yang digulingkan, Ghulam Isaczai, juga telah meminta untuk tetap menduduki kursi tersebut.

Ketika Taliban terakhir memerintah Afghanistan antara tahun 1996 dan 2001, duta besar pemerintah yang mereka gulingkan tetap menjadi perwakilan PBB, setelah komite kredensial menunda keputusannya atas klaim saingan atas kursi tersebut.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, keinginan Taliban untuk pengakuan internasional adalah satu-satunya pengaruh yang dimiliki negara-negara lain, untuk mendesak pemerintah yang inklusif dan menghormati hak-hak, terutama bagi perempuan, di Afghanistan.

Utusan Taliban yang dicalonkan untuk PBB Shaheen mengunggah di Twitter bulan lalu: "Kami memiliki semua persyaratan yang diperlukan untuk menduduki kursi Afghanistan di PBB. Kami berharap persyaratan hukum akan menggantikan preferensi politik."

Ada pun rezim militer Myanmar, yang merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari, telah mengajukan veteran militer Aung Thurein menjadi utusannya di PBB.

Duta Besar saat ini Kyaw Moe Tun, yang ditunjuk oleh pemerintah Suu Kyi, juga telah meminta untuk memperbarui akreditasinya di PBB, meskipun menjadi target komplotan untuk membunuh atau melukainya karena penentangannya terhadap kudeta.

Mantan utusan khusus PBB untuk Myanmar, yang mengundurkan diri bulan lalu, memperingatkan tidak ada negara yang harus mengakui atau melegitimasi rezim, sementara Sekjen Guterres berjanji memobilisasi tekanan pada Februai "untuk memastikan kudeta tersebut gagal."