Bagikan:

JAKARTA - Nahdlatul Ulama (NU) akan mendesak Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) segera disahkan. RUU ini masih parkir di meja legislator DPR. 

"Itu disoroti karena mangkrak dan belum disahkan. Itu menyangkut nasib dan hak rakyat kecil. Jadi itu yang harus kita dorong bahwa NU juga hadir membela rakyat kecil," ujar Ketua Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muktamar ke-34 NU Mujib Qulyubi dalam keterangan tertulis yang diterima dari Jakarta, Antara, Rabu, 24 November. 

RUU soal perlindungan asisten atau pekerja rumah tangga menjadi salah satu tema bahasan dalam Muktamar ke-34 NU yang rencananya digelar pada 23-25 Desember di Provinsi Lampung.

Sejak diusulkan pada 2004, RUU ini telah masuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI. Setiap masa periode masa bakti DPR-RI pembahasannya selalu terhenti, padahal RUU tersebut merupakan kebutuhan mendesak guna melindungi para pekerja rumah tangga.

Wilayah kerja dari PRT pada ranah domestik dan privat sehingga kontrol pemerintah tidak ada. Padahal pekerjaan privat seperti ini rawan eksploitasi, diskriminasi, pelecehan, bahkan kekerasan.

Mujib menegaskan, masih banyak pekerja rumah tangga di Indonesia belum mendapatkan hak layak hingga saat ini. Dengan disahkannya RUU PRT maka kedudukan PRT akan semakin kuat.

"Jadi asisten rumah tangga ini kan simbol dari akar rumput, rakyat kecil, maka NU tidak boleh membiarkan orang yang sudah lemah kemudian dilemahkan oleh sistem. Itu tidak boleh. Di situ harus tampil dan hadir NU dengan seluruh perangkatnya," kata dia.

Berdasarkan survei yang dilakukan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Universitas Indonesia pada 2015, jumlah PRT berjumlah 4,2 juta dengan tren meningkat setiap tahun. Angka itu cukup besar sebagai pekerja yang selama ini tidak diakui dan dilindungi.

Secara kuantitas, jumlah PRT di Indonesia tergolong paling tinggi di dunia jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia seperti India (3,8 juta) dan Filipina (2,6 juta).

Sementara secara persentase, sebagian besar PRT adalah perempuan (84 persen) dan anak (14 persen) yang rentan eksploitasi atau risiko terhadap perdagangan manusia (human trafficking).

Urgensi lain adalah karena PRT merupakan pekerja yang rentan. Mereka bekerja dalam situasi yang tidak layak, di antaranya jam kerja yang panjang (tidak dibatasi waktu), tidak ada istirahat, tidak ada hari libur, tidak ada jaminan sosial. Ditambah pula rentan terjadi kekerasan dalam bekerja baik secara ekonomi, fisik, dan psikis (intimidasi, isolasi).

PRT juga tergolong angkatan kerja yang tidak diakui sebagai pekerja, sehingga dianggap pengangguran.