Bagikan:

JAKARTA - Interupsi anggota Fraksi PKS, Fahmy Alaydroes, dalam sidang paripurna DPR yang menjadi polemik dinilai bagian dari strategi komunikasi fraksi oposisi tersebut untuk mendapat perhatian publik.

Sebab, kalau hanya mengandalkan kekuatan politik yang lemah di parlemen saat ini, suara PKS tidak akan terdengar oleh masyarakat luas.

"Kalau bahasa gampangnya ini strategi ‘cari panggung’, karena PKS sadar kekuatan politik mereka lemah di DPR RI, fraksi oposisi juga lemah. Kalau kita lihat, bukan kali ini saja PKS memanfaatkan interupsi di sidang paripurna untuk memasukkan agenda lain," kata pengajar komunikasi politik Universitas Indonesia, Ari Junaedi, Selasa 9 November.

Dari 575 anggota DPR RI, jumlah anggota fraksi oposisi di DPR hanya 104 anggota (18 persen). Detailnya, Fraksi PKS 50 orang dan Fraksi Demokrat 54 orang. Sangat jomplang dengan fraksi pendukung pemerintah yang berjumlah 80 persen lebih.

Menurut Ari, kalau Fraksi PKS mengandalkan kekuatan politik oposisi untuk mengusung agenda mereka sendiri cukup sulit. Terlebih jika agenda tersebut tidak disetujui atau melawan arus fraksi mayoritas pendukung pemerintah.

"Seandainya kekuatan politik PKS dan oposisi kuat, mereka bisa memasukkan agenda yang akan diusung (isu Permendikbud) ke rapat paripurna di rapat Badan Musyawarah. Tapi kan mereka tidak bisa karena terlalu lemah, sehingga tidak bisa mengusulkan agenda lain selain persetujuan calon Panglima TNI yang disetujui mayoritas fraksi,” papar Ari.

“Apalagi agenda rapat paripurna adalah pengesahan atas persetujuan calon panglima TNI yang sudah melalui uji kelayakan dan kepatutan di Komisi I,” imbuh Ari.

Karena tidak bisa mengandalkan kekuatan politik di parlemen, lanjut Ari, Fraksi PKS

menggunakan jalan pintas interupsi di rapat paripurna.

“Karena mereka tahu di rapat paripurna itu kan banyak kamera, ekspos peliputan medianya tinggi, dan PKS sadar betul ini sebagai jalan pintas untuk mendapat perhatian publik,” imbuhnya.

Lebih jauh, Ari menilai aksi cari panggung lewat interupsi Fahmy Alaydroes sah-sah saja sebagai strategi komunikasi oposisi yang lemah di parlemen. Namun, hendaknya interupsi tersebut mengedepankan etika politik.

“Gerutu-gerutu politik tersebut selain tidak elok secara politik, juga seperti kelihatan orang yang patah arang, karena kekuatan politik partainya terlalu lemah untuk mengusulkan agenda. Saya sebut gerutu karena apa yang disampaikan ad hominem, tidak sesuai konteks,” kata Ari.