Interupsi Anggota DPR Bukannya Tidak Boleh Tapi Jangan Juga Ketika Pidato Penutupan
Ketua DPR RI Puan Maharani (Foto Dok DPR)

Bagikan:

JAKARTA - Interupsi Anggota FPKS DPR RI, Fahmi Alaydroes dalam Rapat Paripurna pengesahan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menjadi polemik. Sikap Fahmi dinilai kurang tepat lantaran baru mengajukan interupsi saat Ketua DPR RI Puan Maharani yang menjadi pimpinan sidang sedang menutup Rapat Paripurna yang beragendakan tunggal.

"Kalau kita lihat sebagai demokrasi, interupsi itu boleh dilakukan. Anggota DPR punya hak untuk bicara, termasuk interupsi. Tetapi kita harus lihat bagaimana itu disampaikan," ucap Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing, Selasa 9 November.

Fahmi Alaydroes memang baru mengajukan interupsi saat Puan sedang menyampaikan pidato penutup usai dewan menyetujui nama Andika Perkasa sebagai Panglima TNI yang baru. Emrus mengatakan, seharusnya anggota DPR mengajukan interupsi ketika pimpinan sidang membahas soal agenda di awal Rapat Paripurna.

“Kalau sudah pidato penutupan, berarti sebelum penutupan sudah diberikan kesempatan kepada para pihak. Seharusnya itu oleh teman-teman anggota dewan dimanfaatkan secara maksimal. Agar bagaimana menyampaikan pesan itu efektif dan efisien, dengan keterbatasan waktu,” tuturnya.

Emrus pun mengkritik Fahmi yang kemudian mencibir Puan. Sebagai anggota dewan, anggota DPR disebut harus menjunjung tinggi kehormatan.

“Gerutu-gerutu seperti itu tidak pada tempatnya. Itu namanya merendahkan kalau kita bicara konteks komunikasi. Di dalam etika komunikasi, kita harus menghormati pandangan orang lain,” jelas Emrus.

Direktur Eksekutif Emrus Corner ini lantas memuji sikap Puan yang tidak tersulut emosi meski mendapat cibirian. Menurut Emrus, langkah Puan yang tetap melanjutkan Rapat Paripurna sudah sesuai kesepakatan agenda sidang.

“Tapi saya melihat bagaimana Puan Maharani memberikan respons, dia kan tenang-tenang saja kan. Santai dan biasa saja,” ujarnya.

Emrus juga menilai Fahmi kurang tepat mengajukan interupsi karena Rapat Paripurna kemarin, Senin (8/11), merupakan agenda tunggal. Dalam Rapat Konsultasi Pimpinan Pengganti Rapat Bamus sudah diputuskan Rapat Paripurna hanya beragendakan untuk pengambilan keputusan persetujuan Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI.

“Dan ini agenda tunggal. Rasanya memang kurang tepat jika kemudian ada interupsi untuk konteks yang lain,” ungkap Emrus.

Emrus mengingatkan, PKS sudah lama berada di DPR. Menurutnya, PKS sudah bisa memahami bagaimana mekanisme Rapat Paripurna yang memiliki agenda tunggal.

“Toh jika agenda Rapat Paripurna tidak tunggal, interupsi selalu diizinkan dan pimpinan DPR terbuka serta memberikan waktu bicara untuk anggota dewan,” ucap dia.

“Kan PKS sudah lama ada di DPR. Pengalaman itu harusnya dipergunakan. Pengalaman adalah guru terbaik,” tutup Emrus.