Epidemiolog: Jangan Mimpi COVID-19 Bisa Usai Cepat
Ilustrasi. (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Jangan berharap pandemi COVID-19 akan berakhir cepat. Menurut epidemiolog, pandemi COVID-19 di Indonesia masih terus berlangsung, bahkan diprediksi hingga 2022.

Ahli epidemiologi dan biostatistik Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono mengingatkan, pemerintah benar-benar bekerja secara extraordinary dalam penanganannya. Pandu mengatakan, jika pandemi COVID-19 tidak segera dituntaskan, mustahil pemerintah dapat memulihkan perekonomian. Tak hanya itu, ia menilai, masyarakat juga harus patuh dalam menjalankan protokol kesehatan.

Lebih lanjut, kata Pandu, saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilonggarkan terjadi peningkatan mobilitas masyarakat. Untuk mencegah timbulnya klaster baru, masyarakat harus menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3 M).

Menurut Pandu, tak cukup hanya mendorong masyarakat untuk menjalakan 3M, pemerintah juga melakukan pelacakan secara masif dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR), bukan dengan rapid test.

"Kasus positif di Indonesia akan naik terus. Kita belum tahu puncaknya kapan. Sampai akhir Desember (2020) kasus akan naik terus," ucapnya, dalam diskusi virtual, Senin, 3 Agustus.

Pandu menjelaskan, jika terus mengalami kenaikan, puncak pandemi COVID-19 di Indonesia diprediksi terjadi pada pertengahan tahun 2021, sedangkan penurunan kasus bisa pada awal tahun 2022. Namun, kata dia, puncak pasti pandemi COVID-19 di Indonesia, tidak bisa diprediksi karena testing terbilang masih rendah.

"Ini asumsi belum tentu benar. Pada umumnya permodelan banyak salahnya karena berangkat pada asumsi yang belum tentu betul. Kalau kita melakukan survei yang aktif, testing, lacak, dan isolasi dengan lebih baik, kita bisa menekan lonjakan," jelasnya.

Namun sayangnya kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia tidak diiringi dengan kecepatan dalam melakukan testing. Ia juga menjelaskan, pentingnya meninjau positif rate, bukan hanya peningkatan jumlah kasus.

"Penduduk harus 3M, pemerintah apa? Kemenkes apa? Satgas apa? Yaitu melakukan surveillance aktif, apa itu? Testing. PCR testing, jangan lagi pakai rapid test. Ngaco itu. Karena itu tidak mendeteksi orang dengan virus. Kita harus mendeteksi orang dengan virus, kemudian kita lacak, dan isolasi. Itu cara paling basic dalam pengendalian penyakit infeksi," ucapnya.

Menurut Pandu, yang bisa melakukan pelacakan pandemi COVID-19 adalah sistem kesehatan. Karena itu, kata dia, dibutuhkan peran pemerintah bukan sekadar komite satuan tugas.

"Pandemi ini harus diatasi sebagai negara bukan komite bukan satgas, gugus tugas. Negara itu siapa? Presiden dengan menteri-menterinya. Karena itu sistem, kita melihat itu, terlepas dari menterinya siapa dan kita bisa melakukan itu," katanya.

Pandu juga mengaku terkejut dengan banyaknya pergerakan jarak jauh pada libur Iduladha. Ia mengatakan, jika tidak diringi dengan 3M, maka dua hingga 3 minggu ke depan akan terjadi lonjakan kasus baru yang tidak bisa dikontrol.

"Jakarta kita lihat dari sekitar daerah penyanggah ini data real dari Facebook kebetulan UI ada kerja sama dengan Facebook. Kita bisa mengakses data sampai tingkat kelurahan, bagaimana mengikuti pergerakan penduduk di Indonesia ini. Sesuatu yang kita amati memang pola penyebaran penyakit, kita lihat betapa dahsyatanya pergerakan penduduk setiap hari," tuturnya.