Bagikan:

JAKARTA - Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30/2021 dinilai bermasalah. Pasalnya, peraturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi tersebut dianggap memuat hal yang tidak ada dalam norma hukum, khususnya soal hubungan seks.

Oleh karena itu, Komisi X DPR RI berencana untuk memanggil Mendikbudristek RI Nadiem Makarim dalam waktu dekat untuk membahas polemik Permendikbud 30/2021 ini. 

 

“Diskusi bersama poksi-poksi komisi X rencananya Jumat (12 November) ini,” ujar Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul FIkri Faqih di Jakarta, Selasa,9 November. 

 

Lebih lanjut, Fikri menilai ketentuan tentang persetujuan seksual yang tercantum dalam Permendikbud 30/2021 tidak dikenal di dalam norma hukum di Indonesia. 

 

“Konsensus yang kita sepakati sesuai norma Pancasila dan UUD 1945 adalah bahwa hubungan seksual baru boleh dilakukan dalam konteks lembaga pernikahan,” kata Fikri.

Adapun polemik tentang persetujuan seksual muncul pada frasa “tanpa persetujuan korban” yang mengacu kepada definisi kekerasan seksual dalam pasal 5 pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf l, dan huruf m.

Menurut Fikri, dalam frasa “tanpa persetujuan korban” terkandung makna persetujuan seksual atau sexual consent. Artinya, kata dia, hubungan seksual dibolehkan asal dilakukan atas dasar suka sama suka. 

 

Fikri menegaskan, hal tersebut jelas bertolak belakang dengan norma hukum yang berlaku di Indonesia. Di mana perzinahan dianggap sebagai perilaku asusila dan diancam pidana. 

 

“Pasal 284 KUHP misalnya, mengancam hukuman penjara bagi yang melakukannya,” terang Fikri.

Bahkan, sambung Fikri, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) masih menambahkan peran aturan agama dalam hak-hak Wanita. Pasal 50 dalam UU HAM berbunyi: “Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”.

 

"Padahal, UU 39/1999 adalah salah satu konsideran yang tercantum dalam pembentukan Permendikbudristek 30/2021," jelasnya. 

Fikri menambahkan, UU Sisdiknas Nomor 20/2003 yang juga dicantumkan sebagai konsideran pada dasarnya memiliki semangat yang berlandaskan moral-moral Pancasila yaitu pada pasal 3. 

 

Dia menegaskan, fraksi PKS sangat menentang segala bentuk kekerasan seksual yang tertulis sebagaimana di dalam judul Permendikbud 30/2021. Namun di sisi lain, juga tidak setuju dengan legalisasi perzinahan.

“Sebagai bangsa timur yang menjunjung tinggi moral agama, nilai pancasila dan berketuhanan yang maha esa, sudah seharusnya kita menolak budaya seks bebas,” tegas Fikri.