Sepakat Akhiri Deforestasi pada Tahun 2030, Pemimpin Global Siapkan Anggaran Rp270 Triliun
Ilustrasi deforestasi. (Wikimedia Commons/IndoMet in the Heart of Borneo)

Bagikan:

JAKARTA - Lebih dari 100 pemimpin global pada Senin malam berjanji untuk menghentikan dan membalikkan deforestasi dan degradasi lahan pada akhir dekade ini, didukung oleh dana publik dan swasta senilai 19 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp270.911.500.000.000 untuk diinvestasikan guna melindungi dan memulihkan hutan.

Pernyataan bersama pada pembicaraan iklim COP26 di Glasgow didukung oleh para pemimpin negara termasuk Brasil, Indonesia dan Republik Demokratik Kongo, yang secara kolektif menyumbang 85 persen dari hutan dunia.

Deklarasi para Pemimpin Glasgow tentang Hutan dan Penggunaan Lahan akan mencakup hutan seluas lebih dari 13 juta mil persegi, menurut sebuah pernyataan dari Kantor Perdana Menteri Inggris atas nama para pemimpin.

"Kita akan memiliki kesempatan untuk mengakhiri sejarah panjang umat manusia sebagai penakluk alam, dan sebagai gantinya menjadi penjaganya," ujar PM Inggris Boris Johnson, menyebutnya sebagai kesepakatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, mengutip Reuters 2 November.

Sejumlah inisiatif tambahan pemerintah dan swasta diluncurkan pada Hari Selasa untuk membantu mencapai tujuan itu, termasuk miliaran janji untuk penjaga hutan adat dan pertanian berkelanjutan.

Hutan menyerap sekitar 30 persen emisi karbon dioksida, menurut Lembaga Sumber Daya Dunia nirlaba. Hutan mengambil emisi dari atmosfer dan mencegahnya dari perubahan iklim.

deforestasi
Ilustrasi deforestasi. (Wikimedia Commons/Hayden)

Namun penyangga iklim alami ini dengan cepat menghilang. Dunia kehilangan 258.000 kilometer persegi hutan pada tahun 2020, menurut inisiatif pelacakan deforestasi WRI, Global Forest Watch. Itu adalah wilayah yang lebih besar dari Inggris.

Kesepakatan Senin memperluas komitmen serupa yang dibuat oleh 40 negara sebagai bagian dari Deklarasi Hutan New York 2014, melangkah lebih jauh dari sebelumnya dalam menyusun sumber daya untuk mencapai tujuan itu.

Berdasarkan perjanjian tersebut, 12 negara termasuk Inggris telah berjanji untuk menyediakan 8,75 miliar pound (12 miliar dolar AS) dana publik antara tahun 2021 dan 2025 untuk membantu negara-negara berkembang, termasuk dalam upaya untuk memulihkan lahan yang terdegradasi dan mengatasi kebakaran hutan.

Sementara, sedikitnya dana 5,3 miliar pound lebih lanjut akan disediakan oleh lebih dari 30 investor sektor swasta, termasuk Aviva, Schroders dan AXA.

Para investor, yang mewakili 8,7 triliun dolar AS dalam aset yang dikelola, juga berjanji untuk berhenti berinvestasi dalam kegiatan yang terkait dengan deforestasi pada tahun 2025.

Lima negara, termasuk Inggris dan Amerika Serikat dan sekelompok badan amal global pada Hari Selasa juga berjanji untuk menyediakan 1,7 miliar dolar AS dalam pembiayaan, untuk mendukung konservasi hutan masyarakat adat dan untuk memperkuat hak-hak tanah mereka.

Terpisah, para pemerhati lingkungan mengatakan masyarakat adat adalah pelindung terbaik hutan, sering kali melawan perambahan dengan kekerasan dari penebang dan perampas tanah.

Lebih dari 30 lembaga keuangan dengan aset yang dikelola lebih dari 8,7 triliun dolar AS juga mengatakan, mereka akan melakukan 'upaya terbaik' untuk menghilangkan deforestasi yang terkait dengan produksi ternak, minyak sawit, kedelai dan pulp pada tahun 2025.

Untuk diketahui, COP26 bertujuan untuk mempertahankan target pembatasan pemanasan global pada 1,5 derajat Celcius (2,7 Fahrenheit), di atas tingkat pra-industri. Para ilmuwan mengatakan, hutan dan apa yang disebut solusi berbasis alam akan sangat penting untuk mencapai tujuan itu.

Sementara, hutan telah menghilangkan sekitar 760 juta ton karbon setiap tahun sejak 2011, mengimbangi sekitar 8 persen emisi karbon dioksida dari bahan bakar fosil dan semen, menurut proyek Biomass Carbon Monitor yang didukung oleh firma analisis data Kayrros dan lembaga penelitian Prancis.

"Biosfer kita benar-benar membantu menyelamatkan kita untuk saat ini, tetapi tidak ada jaminan proses itu akan berlanjut," terang Oliver Phillips, ahli ekologi di University of Leeds di Inggris.