Pembantaian Massal Penyandang Cacat hingga Pembunuhan di Kuil Shinto: Serangan Joker Perpanjang Daftar Tragedi Penikaman di Jepang
JAKARTA - Satu pria 24 tahun berkostum Joker menikam 17 orang di dalam kereta bawah tanah di Tokyo, Jepang. Serangan ini menambah daftar tragedi ofensif besar yang melibatkan senjata tajam di Negeri Sakura.
Media lokal melaporkan 17 korban terluka dalam serangan Minggu malam, 31 Oktober, sekitar 20.30 waktu setempat. Orang-orang di dalam gerbong tak menyangka salah satu pria di antara mereka --berjas ungu dan hijau cerah-- mengenakan kostum bukan untuk pesta Halloween.
"Saya kira itu adalah aksi Halloween," kata seorang saksi kepada surat kabar Yomiuri.
Tak cuma menyerang dengan pisau. Pria itu juga melakukan aksi pembakaran. Menurut para saksi api muncul dari cairan bening yang ia bakar setelah menyemprotkannya ke sekitar gerbong.
Rekaman video viral di media sosial, memperlihatkan kepanikan di dalam gerbong. Para penumpang berlarian menjauhi pria berkostum dan api yang ia ciptakan. Beberapa sampai memanjat jendela ketika kereta dalam keadaan berhenti darurat.
"Kemudian saya melihat seorang pria berjalan ke arah sini. Perlahan-lahan ia mengayunkan pisau panjang," masih saksi yang sama kepada Yomiuri.
Tiga orang di antara korban mengalami luka serius. Seorang pria tua dilaporkan kritis setelah ditikam dalam serangan tersebut.
Tersangka telah ditangkap di tempat kejadian, setelah sempat mengurung dirinya sendirian di dalam gerbong sembari merokok. Pemandangan pascaserangan itu terlihat dalam video viral lain.
Terinspirasi Joker
Namanya Kyotta Hattori. Ia mengonfirmasi kekaguman pada karakter Joker, villain nomor satu di semesta Batman dan barangkali salah satu villain paling populer dalam sejarah komik Amerika.
Mengutip Japan Today, Hattori mengaku serangan itu bahkan telah ia rencanakan sejak beberapa bulan lalu, tepatnya Juni. Hattori juga mengatakan "ingin membunuh orang-orang sehingga dia bisa dijatuhi hukuman mati."
Dalam olah TKP, polisi menemukan sebilah pisau, beberapa botol plastik, yang kemungkinan berisi cairan pemantik api serta kaleng aerosol di dalam gerbong kereta. Menurut polisi sekitar dua jam sebelum peristiwa Hattori sempat merayakan pesta Halloween di Distrik Shibuya, Tokyo.
Hattori memilih kereta ekspres terbatas menuju pusat kota yang jarang berhenti karena biasanya penuh sesak dengan penumpang. Situasi yang ideal sebagaimana ia bayangkan dalam rencananya.
Mengatakan kepada polisi, Hattori mengaku menyesal. Bukan menyesali serangan itu tapi justru menyesal karena gagal membunuh siapa pun dalam serangan itu.
Daftar tragedi dengan senjata tajam di Jepang
Di Jepang, kejahatan dengan kekerasan termasuk jarang terjadi. Tapi dalam lima tahun terakhir sejumlah tragedi serangan yang melibatkan senjata tajam tercatat.
Penikaman di kereta komuter
Agustus lalu, di tengah penyelenggaraan Olimpiade, sepuluh orang terluka karena serangan yang dilakukan pria berpisau di dalam kereta komuter Tokyo. Tersangka, pria berusia 36 tahun mengatakan pada polisi bahwa amarahnya muncul ketika melihat beberapa perempuan tampak bahagia. Keinginan membunuhnya muncul karena perasaan itu.
Pria itu melakukan serangan ketika kereta berada di dekat Stasiun Sijogakuen sekitar pukul 20.40 waktu setempat. Masinis memberhentikan kereta secara darurat ketika mendengar suara teriakan dalam gerbong.
Tersangka sempat kabur dengan melompat ke jalur rel. Awak kereta mengevakuasi para penumpang dengan menyusuri jalur kereta menuju stasiun terdekat.
Dilaporkan NHK News, tersangka menghentikan pelarian karena kelelahan. Ia masuk ke toko serba ada dan memberi tahu karyawan toko itu bahwa ia adalah "tersangka dalam insiden yang dilaporkan banyak pemberitaan hari itu."
Serangan kuil Shinto
Serangan lain lebih mematikan terjadi pada 2017 di kuil suci agama Shinto di Tokyo, Jepang. Serangan dipicu perseteruan perebutan posisi pimpinan keagamaan. Serangan terjadi ketika Nagako Tomioka, biksu 58 tahun turun dari mobil.
Nagako kemudian dihadang oleh adiknya, Shigenaka Tomioka (56) dan istrinya, berusia 30. Shigenaka menikam Nagako hingga tewas dengan luka sabet di dada dan belakang leher. Sementara istri Shigenaka menusuk sopir Nagako yang menyelamatkan diri dalam kondisi luka.
Para tersangka melarikan diri ke sebuah lokasi dekat kuil suci. Di sanalah Shigenaka membunuh istrinya dan kemudian bunuh diri.
Di tempat kejadian polisi menemukan pedang samurai yang telah berlumur darah. Polisi juga menemukan sebilah pisau lain di lokasi.
"Kami yakin tersangka pria menikam perempuan tersebut sebelum dia menusuk dirinya sendiri," kata juru bicara kepolisian, dikutip BBC.
Pembunuhan massal 19 penyandang cacat
Pada 2019, seorang pria 30 tahun bernama Satoshi Uematsi dihukum mati. Hukuman itu merujuk serangan penikaman massal yang ia lakukan pada 2016. Serangan itu membunuh 19 penyandang cacat di sebuah panti perawatan.
Pada 16 Maret tahun itu pengadilan memutuskan hukuman mati dengan cara digantung terhadap Satoshi. Sepanjang proses pengadilan Satoshi tak membantah pembunuhan tersebut.
Satoshi bahkan mengatakan orang-orang yang tak dapat berkomunikasi dengan baik tidak memiliki hak untuk hidup. Salah satu hal yang menurutnya melatarbelakangi pembunuhan itu.
Tim pembela sempat mengangkat kondisi kejiwaan Satoshi sebagai alasan menyelamatkannya dari ancaman hukuman mati. Para pembela menggunakan bukti kadar ganja yang ditemukan dalam tubuh Satoshi sebagai dalih.
Namun upaya itu gagal. Para jaksa bersikukuh kondisi kejiwaan Satoshi sadar ketika melakukan perbuatan "tak berperikemanusiaan" itu. Maka, tak ada alasan untuk memberikan keringanan pada Satoshi, demikian laporan media Kyodo.
*Baca Informasi lain soal BERITA INTERNASIONAL atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.