Bagikan:

JAKARTA - Indonesia jadi tuan rumah sekaligus menjadi Presidensi G20 pada 2022. Agenda utamanya yakni pemulihan ekonomi bersama guna mewujudkan tata kelola ekonomi dunia yang lebih kuat, inklusif, dan berkelanjutan. Lantas apa keuntungan konkretnya bagi Indonesia?

Tema G20 tahun depan adalah Recover Together Recover Stronger. Terpilihnya sebagai tuan rumah, membuat  Indonesia berkesempatan ikut menentukan arah desain kebijakan pemulihan ekonomi global.

Bukan cuma itu, pertemuan juga akan membahas soal iklim, kebijakan perpajakan global hingga inklusi keuangan. Agenda-agenda prioritas pada jalur keuangan (finance track) yang diusulkan Indonesia di antaranya akan fokus pada penanganan isu-isu global terkini seperti exit policy.

"Di sini yang paling sering akan dibahas adalah kapan negara-negara terutama G20 yang semuanya melakukan kebijakan ekstraordinari di bidang fiskal dan moneter, akan menetapkan kapan mulai melakukan exit policy. Yakni mengurangi intervensi kebijakan makro yang luar biasa, yang pasti tidak sustainable, secara bertahap dan terkoordinasi," kata Sri Mulyani dikutip Kompas TV.

Indonesia dalam G20

Terbentuknya Group of Twenty (G20) bermula dari sebuah pemikiran untuk menyelesaikan krisis keuangan global, dan diperlukannya sebuah penguatan internasional yang berasal dari komitmen negara-negara yang mempunyai skala ekonomi terbesar. Klub ekonomi eksklusif ini hadir untuk memberikan sebuah kerangka global yang kemudian diinfiltrasikan ke berbagai institusi internasional ataupun mekanisme kerjasama ekonomi.

Seperti dijelaskan Sukma Sushanti dalam jurnalnya tentang "Aktualisasi Indonesia dalam G20: Peluang atau Tren" implikasi terbentuknya G20 semakin kuat di tahun 2008. Terlebih ketika forum ini mengalami transisi level pertemuannya menjadi wadah bertemunya para kepala negara yang duduk bersama guna menyikapi perekonomian dunia.

Proyeksi masa depan dibentuknya G20 adalah untuk mengantisipasi krisis ekonomi dunia. Pasalnya forum ini mempunyai tujuan utama yakni membangun komitmen internasional yang akan memberikan peran nyata dalam memberikan sosulsi global bagi setiap permasalahan ekonomi. Esensi common goal yang menjadi landasan vital dari forum ini adalah terbentuknya sebuah aksi kolektif dalam menyikapi problematika ekonomi dunia.

Banyak negara yang memberikan pengharapan pada komunitas ekonomi eksklusif ini melalui keterwakilan anggota aktif dalam kelompok ini. Tak lepas juga mandat yang melekat pada Indonesia sejak ditetapkan sebagai anggota tetap G20.

Presiden RI Joko Widodo saat mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Dewan Eropa Charles Michel, di sela KTT G20 di La Nuvola, Roma, Italia, Minggu, 31 Oktober (Foto: Antara)

Ditetapkannya Indonesia sebagai anggota tetap dari forum G20 berdasarkan beberapa hal, pertama yakni perannya menginisiasi ASEAN. Pengalaman tersebut memberikan peluang untuk diikutsertakan dalam klub ekonomi eksklusif ini.

Selain itu pengalaman Indonesia dalam mengatasi krisis keuangan pada 1998 yang dinilai cukup baik. Dan partisipasi nyata dari Indonesia dalam setiap forum ekonomi dunia.

Sementara itu, Indonesia pun menjadi salah satu negara di kawasan yang mempunyai skala besar dalam perdagangan dunia. Jika Indonesia bisa memaksimalkan perannya secara baik dalam G20, maka capaian kepentingan nasional negara dapat terakses dengan baik tanpa mengesampingkan tuntutan moral secara regional ataupun global. Lantas apa keuntungan nyata yang bisa diperoleh Indonesia?

Apa untungnya?

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menjelaskan momen Presidensi G20 Indonesia perlu dioptimalkan agar kerja sama perdagangan dan investasi bisa lebih punya daya tarik. "Begitu juga dengan perencanaan kebijakan global pasca pandemi, Indonesia harusnya sudah siapkan beberapa proposal terobosan," kata Bhima kepada VOI.

Pasca pandemi kata Bhima memang banyak negara yang ingin merombak mekanisme fiskal dan moneter. Misalnya soal dampak normalisasi kebijakan moneter di negara maju, jangan sampai menimbulkan gejolak besar seperti yang terjadi pada 2013.

"Misalnya soal dampak normalisasi kebijakan moneter di negara maju, jangan sampai menimbulkan gejolak besar seperti taper tantrum 2013. Indonesia bisa beri rekomendasi yang taktis agar efek normalisasi tidak rugikan ekonomi negara berkembang," jelas Bhima.

Presiden RI, Joko Widodo. (Foto: Dok. Antara)

Berikutnya, Bhima menyarankan soal stimulus yang diharapkan tidak mengarah pada penghentian bantuan sosial secara drastis. "Karena banyak sektor usaha dan masyarakat yang masih perlu dibantu."

Lalu dari segi keuntungan konkret, menurut Bhima justru yang lebih berdampak adalah dari event-event "sampingannya". "Dalam G20 side event kadang memberikan dampak langsung dan konkret dibanding komitmen dalam event utama di G20," ujar Bhima.

Bhima mencontohkan ketika Presidensi Argentina 2018. Ada momen menarik ketika Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping bertemu sambil makan malam. "Mereka membahas penundaan tarif saat perang dagang berlangsung."

"Jika Indonesia bisa melakukan hal yang sama misalnya deal investasi besar dari negara G20 saat side event. Maka ini momentum," kata Bhima.

*Baca Informasi lain tentang EKONOMI atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya