Jejak 'Bola Nasi' Onigiri dalam Kisah Perang Rakyat Jepang
JAKARTA - Bagi orang Jepang, onigiri adalah sebentuk makanan istimewa. Sejak dulu kala “bola nasi” onigiri telah menjadi kudapan sehari-hari rakyat Negeri Matahari Terbit. Onigiri dapat disantap diragam suasana --pagi, siang, atau malam hari. Pun Onigiri jadi makanan semua kelas, dari bangsawan hingga jelata. Keistimewaan itu makin meningkat kala Onigiri menjadi bekal penting para samurai yang pergi berperang. Bahkan, onigiri juga tercatat sebagai isi bento militer Jepang pada Perang Dunia II.
Sedari awal, onigiri telah menjelma menjadi makan populer di Jepang. Gairah rasa dari onigiri yang mampu menyesuaikan diri dengan selera zaman jadi muaranya. Yang paling menarik, pada awalnya bahan dasar dari pembuatan onigiri justru adalah beras ketan (mochi), bukan beras Jepang (Uruchi-mai) yang seperti kita kenal di era modern. Pun bentuknya masih beragam --dari bulat, kota, hingga segitiga.
Adapun makanan itu tak cuma dikenal dengan nama onigiri saja. Banyak sebutan lain rakyat Jepang untuk Onigiri. Beberapa ada yang menyebutnya omusubi (nasi kepal) dan nigirimeshi (makanan dari beras).
Melansir laman Samurice, bukti arkelogi menunjukkan Onigiri telah hadir sejak era Yayoi (300 SM- tahun 250). Dalam penggalian arkelogi di Prefentur Ishikawa itu, para arkeolog menemukan gumpalan butiran nasi yang sudah terkarbonasi.
Temuan gumpalan nasi langsung diteliti. Hasilnya mengejutkan. Mereka menemukan adanya bekas tekanan jari-jari tangan manusia dalam gumpalan nasi. Karenanya, penemuan itu jadi bukti nenek moyang bangsa Jepang telah terbiasa membuat nasi kepal untuk konsumsi sehari-hari, terutama untuk pelesiran.
Selanjutnya, Onigiri muncul di awal periode Nara ( tahun 710 hingga 794). Bukti istimewanya onigiri era Nara dibuktikan dari hadirnya deskripsi “nigiri” (nasi buatan tangan) dalam satu topografi yang dipesan oleh Kaisar Wanita Gemmei (660-721). Wiliyah yang digambarkan sebagai nigiri itu adalah Hitachi no Kuni. Yang mana, wilayah tersebut dikenal sangat kaya akan hasil alam.
Begitu pula era berikutnya: era Heian ( tahun 794-1185), era Kamakura (tahun 1185 hingga 1333), era Sengoku (1493-1573), hingga era Edo (1603-1868). Masing-masing era lalu menunjukkan bukti pentingnya onigiri pada masyarakat Jepang.
Cerita rakyat
Bukti lain terkait mengakarnya onigiri di masyarakat Jepang juga muncul dalam bentuk cerita rakyat. Salah satunya adalah cerita Omusubi Koronin (nasi kepal yang menggelinding). Cerita itu diwariskan secara turun-temurun oleh rakyat Jepang. Selain memuat onigiri sebagai warisan budaya. Cerita itu mengajarkan nilai penting dalam kehidupan bahwa hidup tak boleh serakah.
Kisah itu dibuka cerita seorang petani tua dan istrinya yang hidup bahagia walau sederhana. Suatu hari, petani tua itu bekerja sebagai penebang pohon di pegunungan. Di waktu makan siang, istri dari petani tua itu segera menyiapkan makanan siang untuk suaminya. Petani tua lalu mulai memuka onigiri buatan istrinya yang dibungkus dengan daun.
Petani tua lalu makan dengan lahap. Ia sampai tak sadar satu bola nasi jatuh ke dalam sebuah lubang kecil. Menyadari hal itu, Petani tua langsung bergegas menuju arah jatuhnya onigiri. Petani itu melihat dan mendengar tikus-tikus sedang gembira ria mendapat makanan. Tikut-tikus pun menyanyikan sebuah lagu: Omusubi kororin sutton ton!
Petani tua itu terkejut. Ia lalu tak sengaja menjatuhkan bola nasi berkali-kali. Nyanyian pun semakin nyaring terdengar. Tikus-tikus itu lalu melihat petani tua. Bukannya takut, tikus-tikus itu justru berterima kasih.
Petani tua pun ditawari dua pilihan. kotak besar dan kotak kecil. Petani tua tak mau muluk-muluk. Ia hanya memilih kotak kecil. Tepat sebelum pulang, ia lalu berpamitan dan berucap terima kasih kepada tikut –tikut itu atas hadiahnya. Alhasil, saat kotak itu dibuka petani tua menemukan uang yang banyak.
“Tak disangka seorang pemuda mendengar cerita petani tua. Ia lalu pergi ke gunung dengan membawa banyak onigiri. Dia menjatuhkan satu persatu onigiri ke dalam lubang kecil tempat tikut tinggal. Ketika dia mendengarkan nyanyian tikus-tikus, pemuda itu melompat ke dalam dan meminta hadiah.”
“Tikus itu memintanya memilih kotak besar atau kotak kecil. Pemuda yang serakah itu lalu mengambil kedua kotak milik tikus dan mencoba pergi. Namun tikus menggigitnya dan pemuda itu kembali ke rumah dengan hanya gigitan di seluruh tubuhnya, tanpa membawa kotak,” tulis Sanae Inada dalam buku Simply Onigiri (2011).
Bekal penting masa perang
Jejak onigiri menjadi bekal penting pada samurai (ksatria Jepang) masa peperangan terekam jelas ketika dimulainya era Sengoku (1493-1573). Era ini adalah era yang paling brutal. Ketiadaan keturunan dari Shogun, Yoshimasa Ashikaga menjadi alasan utama para penguasa serta jenderal masing-masing wilayah Jepang berebut wilayah. Mau tak mau banyak dari keluarga samurai ikut bergabung.
Para samurai itu tak mau melewatkan kesempatan “berjudi” untuk memperebutkan tahta kekuasaan shogun. Yang mana, pada saat itu shogun berkuasa penuh atas Jepang. Sebab, Kaisar Jepang hanya dijadikan simbol pemimpin belaka.
Kala perang mulai pecah, banyak di antara para jenderal membawa pasukan samurainya berperang memperebutkan wilayah musuh. Namun, kondisi medan Jepang yang bergunung menyulitkan lalu lintas transportasi para samurai. Belum lagi, transportasi kala itu terbatas hanya pada tenaga kuda dan manusia saja.
Akibatnya, pengangkut perbekalan dan pelengkapan perang sebagaian besar menggunakan tenaga kuda dan para samurai sendiri. Dalam pada itu, para samurai yang menuju medan laga selalu membawa onigiri sebagai bagian dari ransum yang paling penting. Sebagai pemasok energi di masa perang, katanya.
“Ransum dibawa ke medan tempur di dalam kantung panjang dan sempit oleh semua samurai. Nasi matang untuk sekali makan dalam bentuk onigiri (bola nasi). Atau persediaan beras untuk satu hari dimasukkan dalam kantung, kemudian diikat. Porsi berikutnya dimasukkan, dan kantung kembali diikat. Kantung ransum yang penuh dapat berisi 10-15 ‘gelembung’ nasi,” ujar Anthony J. Bryant dalam buku Samurai 1550-1600 (2008).
Tak Cuma itu. Onigiri bahkan tetap menjadi ransum penting pasukan angkatan darat, laut, dan udara Jepang di era modern. Pada Perang Dunia II, misalnya. Onigiri laksana jimat perang. Onigiri selalu di bawa oleh pasukan Jepang untuk menaklukkan musuh-musuhnya. Termasuk menjadi bekal penting untuk menaklukkan tentara kerajaan Belanda, Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) di Hindia-Belanda. Kegigihan tentara Jepang itu menjadikan mereka sebagai penguasa baru dari Indonesia.
Jejak onigiri sebagai bekal masa perang pun turut dilanggengkan oleh ribuan pilot yang bersiap melakukan misi “mulia” Kamikaze. Misi itu adalah misi bunuh diri yang mengharuskan para pilot menabrakkan pesawat yang mereka terbangkan ke arah musuh. Sedang Kamikaze sendiri adalah sebuah istilah bahasa Jepang yang berasal dari nama angin topan yang telah menyelamatkan Jepang dari invasi Mongol pada tahun 1281.
“Pada tanggal 6 April 1942, berbagai pesawat bunuh diri mulai berdatangan dari pangkalan militer Kyushu (Jepang) ke Taiwan. Mereka adalah para pilot muda Kamikaze yang membawakan kami onigiri (bola nasi) makanan yang sangat dihargai pada masa itu.”
“Mereka berbicara dengan para ibu-ibu dan anak-anak. Mereka pasti kesepian, dan kita harus entah bagaimana meredakan rasa sakit mereka. Salah satu pilot muda berjanji padaku jika selamat dalam pertemuran, ia akan menikahiku, tapi tentu mereka tidak akan pernah kembali ” tutup Masako Kimura Streling dalam buku I Thought the Sun Was God (2013).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.