Bahlil Sebut China hingga Eropa 'Sok' tentang Green Energy, Ujung-ujungnya Kembali Pakai Batu Bara saat Krisis

JAKARTA - Krisis energi sedang melanda sejumlah negara di dunia, baik di Eropa, China, hingga India. Negara-negara yang dilanda krisis energi mayoritas mengalami krisis listrik.

Hal ini terjadi akibat dari melonjaknya harga gas alam dunia dan faktor lainnya dalam beberapa waktu terakhir. Namun, bagi Indonesia ini adalah peluang untuk menarik investasi masuk.

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan krisis energi menyebabkan harga listrik di negara-tersebut menjadi mahal. Sehingga dipastikan akan berdampak pada harga pokok produksi (HPP) produk yang meningkat.

Lebih lanjut, Bahlil mengatakan dengan posisi Indonesia yang oversupply, kondisi krisis energi dunia menjadi peluang untuk bisa mengundang investasi masuk ke Indonesia.

"Dampaknya, produk itu pasti biayanya lebih tinggi dipasarkan ke rakyat. Nah strategi yang kita bangun adalah energi kita oversupply sekarang. Data PLN untuk Jawa-Bali kita oversupply 2.300 MW. Maka ini kesempatan kita meminta perusahaan-perusahaan yang ada di negara itu segera relokasi ke Indonesia," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Rabu, 27 Oktober.

Menurut Bahlil, dengan melakukan relokasi ke Indonesia, HPP produk yang negara-negara itu produksi bisa ditekan karena harga listriknya tidak setinggi negara yang mengalami krisis energi. Maka biaya produksi menjadi lebih rendah dan produknya lebih kompetitif.

Lebih lanjut, Bahlil mengatakan bahwa banyak negara merasa angkuh soal energi ramah lingkungan atau green energy. Menurut dia, negara-negara yang tadinya melarang penggunaan batu bara dan energi fosil pun kini kembali menggunakannya karena dilanda krisis energi.

"Negara-negara sahabat kita yang lain, yang jauh-jauh di sana itu kadang-kadang merasa sok tentang green energy. Padahal mereka juga sekarang, negara-negara yang katanya enggak boleh pakai batu bara, enggak boleh pakai fosil, sekarang mereka krisis energi bikin lagi batu bara," ucapnya.

Meski begitu, Bahlil menekankan bahwa Indonesia mendukung penuh konsep energi yang ramah lingkungan atau green energy. Apalagi, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada tahun 2030. Sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Paris Agreement untuk mengantisipasi perubahan iklim.

Menurut Bahlil, mengadopsi konsep yang berkembang di dunia boleh saja. Namun, dia berpesan agar jangan terlalu mengekor pada negara lain.

"Jadi kita ini sebenarnya boleh mengikuti perkembangan dunia. Tapi jangan terlalu banyak menari di gendang orang. Kenapa? Kita negara berdaulat tapi juga kita dorong konsep global tentang green energy. Itu setuju," katanya.