Pro Kontra Pendukung Jokowi soal Kewajiban Tes PCR Jadi Syarat Penerbangan

JAKARTA— Kewajiban menunjukkan hasil negatif COVID-19 tes PCR 2x24 jam sebagai salah satu syarat penerbangan masih menjadi sorotan. Persoalan ini menjadi pro dan kontra di kalangan pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Baik parpol koalisi maupun relawan pendukung Presiden Jokowi.

Ormas pendukung Presiden Jokowi, Projo meminta syarat kewajiban tes PCR virus Corona (COVID-19) sebagai syarat penerbangan dihapus. Sebab, sudah ada vaksinasi COVID-19 yang masif.

"Projo aktif melakukan percepatan dan perluasan vaksinasi gratis untuk rakyat. Tapi kami kecewa dengan kewajiban tes PCR," ujar Ketua Satgas Gerakan Nasional Percepatan Vaksinasi Covid-19 DPP PROJO, Panel Barus dalam pernyataannya, Sabtu, 23 Oktober.

Menurut Panel Barus, banyak masyarakat yang mempertanyakan soal efektivitas tes PCR jika dikaitkan dengan vaksinasi. Kemudian status vaksinasi pun bisa diakses melalui aplikasi PeduliLindungi.

"Mereka bertanya, kalau sudah divaksin kok masih harus tes PCR. Satgas COVID-19 harus bertindak cepat," kata Panel Barus.

Panel merasa, bukti telah divaksin di PeduliLindungi sudah cukup bagi masyarakat. Tidak perlu diperberat dengan PCR yang biayanya tidak bisa dibilang murah.

 Hal senada juga telah dinyatakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai yang dipimpin Muhaimin Iskandar itu menolak terbitnya Instruksi Menteri Dalam (Inmendagri) 53/2021 tentang PPKM Level 3, 2, dan 1 di Jawa dan Bali agar semua penumpang pesawat wajib tes PCR 2x24 jam sebelum keberangkatan.

Menurut anggota Komisi V Fraksi PKB DPR RI Neng Eem Marhamah Zulfah, Inmendagri tersebut adalah langkah mundur dalam upaya mendorong kebangkitan ekonomi di tanah air.

“Tes PCR bagi penumpang pesawat yang tertuang dalam Inmendagri 53/2021 adalah langkah mundur bagi upaya menuju kenormalan baru seiring terus melandainya kasus COVID-19 di tanah air," ujar Neng Eem, Kamis, 21 Oktober.

Menurut Neng Eem, meski saat ini sudah ada batas tertinggi harga tes PCR, tetapi bagi kebanyakan masyarakat masih tergolong besar. Bahkan harga tes PCR ini bisa 50 persen dari harga tiket pesawat.

Dia pun mempertanyakan munculnya persyaratan tes PCR dalam Inmendagri 53/2021. Pasalnya, di Inmendagri 47/2021, persyaratan calon penumpang pesawat hanya berupa tes antigen (H-1) dengan syarat sudah memperoleh vaksinasi dosis kedua dan hasil negatif PCR jika baru memperoleh vaksin dosis pertama.

“Kami tidak ingin aturan baru wajib tes PCR ini dipersepsikan publik sebagai bentuk keberpihakan pemerintah kepada penyelenggara tes-tes PCR yang saat ini memang tumbuh di lapangan,” kata Neng Eem.

Golkar Mendukung

Sementara, Partai Golkar menyatakan mendukung pemberlakuan kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat yang akan melakukan perjalanan.

 Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golkar, Emanuel Melkiades Laka Lena, menilai Inmendagri yang mewajibkan syarat tersebut adalah bentuk antisipasi pemerintah dalam menekan laju penyebaran COVID-19.

 "Terkait dengan Inmendagri, kita ambil sisi positifnya. Kita menyaksikan sendiri ketika kita membuka proses dan aktivitas di ruang publik itu tidak bisa dihindari bahwa potensi penularan pasti terjadi di mana saja, di fasilitas publik, di sekolah atau transportasi darat laut udara atau di tempat lain," ujar Melki saat jumpa pers di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta, Jumat, 22 Oktober.

Menurutnya, bak sedia payung sebelum hujan seiring mulai masifnya masyarakat bepergian, pemerintah mengantisipasi Klaster baru penularan COVID-19 dengan wajib membawa hasil tes PCR sebelum melakukan penerbangan.

"Kalau kita lihat sekarang adalah ketika orang bergerak sudah punya mekanisme yang namanya platform PeduliLindungi tersebut, sejauh sebenarnya itu terjadi kita masih bisa mengakses seseorang. Tapi dia bergerak dengan konteks bergerak jauh, apalagi ini ke tempat-tempat terbang. Saya kira ini harus dipakai karena PCR swab harus kita pakai pola itu, lebih baik mencegah daripada mengobati," jelas pimpinan komisi kesehatan di DPR itu.

Legislator NTT itu menegaskan, bahwa  lebih baik mencegah ada potensi munculnya klaster daripada terlanjur terinfeksi positif COVID-19. "Daripada sakit, itu lebih ribet," tegas Melki.

Melki memahami, dalam konteks keputusan Inmendagri tersebut  adalah untuk mencegah agar orang-orang yang berpotensi terkena COVID-19 pada aktivitas publik.

"Justru jadi pertanyaan kita adalah di luar Inmendagri tersebut kita masih memikirkan dengan pola transportasi yang lain, laut dan juga darat. Plus tempat pertemuan lain seperti sekolah dan lainnya. Masih ada upaya untuk kita secara periodik seminggu sekali atau dua kali di kantor, di sekolah mesti ada swab atau antigen itu acak. Ini mesti kita pikirkan bersama," kata Melki.

"Jangan kita melihat situasi ini, kita anggap selesai. Karena lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih baik kita mendeteksi awal daripada dia sudah melihat lagi seperti kasus Delta kemarin," sambungnya.

Sebelumnya, Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito menjelaskan tes PCR digunakan karena merupakan metode testing yang paling sensitif.

"PCR sebagai metode testing yang lebih sensitif dapat mendeteksi orang terinfeksi lebih baik daripada rapid antigen, sehingga potensi orang terdeteksi untuk lolos dan menulari orang lain dalam setting kapasitas yang padat dapat diminimalisir," ujar Wiku kepada wartawan, Jumat, 22 Oktober.

Wiku mengatakan syarat tes PCR diberlakukan mengingat tidak lagi diterapkannya seat distancing di dalam pesawat, sehingga diperlukan adanya screening test yang lebih akurat.

"Kapasitasnya dinaikkan dari 70 persen menjadi 100 persen. Maka, untuk memastikan mereka yang bepergian dalam keadaan sehat, dipastikan dengan screening test yang lebih akurat," kata Wiku.