Rapor Merah Empat Tahun Anies di Jakarta: Penanganan Banjir Tak Optimal Hingga Reklamasi Belum Berhenti

JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyerahkan rapor merah empat tahu kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan.

Anies tak menerima langsung rapor merah yang diserahkan pada hari ini, melainkan Asisten Pemerintahan Provinsi DKI Sigit Wijatmoko.

Pengacara publik LBH Jakarta, Charlie Albajili menyebut ada sepuluh permasalahan yang berangkat dari kondisi faktual warga DKI Jakarta dan refleksi advokasi LBH Jakarta selama empat tahun masa kepemimpinan Anies.

Pertama, kualitas udara yang masih buruk meskipun telah ada program Jakarta Langit Biru. Charlie menyebut, buruknya kualitas udara Jakarta sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN)

"Hal ini disebabkan oleh abainya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan," kata Charlie, Senin, 18 Oktober.

Kedua, akses air bersih masih belum merata di seluruh wilayah akibat DKI masih melakukan swastanisasi air. Charlie bilang, permasalahan ini utamanya dapat ditemui pada pinggiran-pinggiran kota, wilayah padat penduduk, dan lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak mampu di Ibukota.

Ketiga, Charlie menyebut Anies belum melakukan penanganan banjir secara optimal yang fokus pada penyebab banjir.

"Beberapa tipe banjir Jakarta tersebut masih disikapi Pemprov DKI sebagai banjir karena luapan sungai, sehingga fokus penanganan ada pada aliran sungai di wilayah Jakarta yakni menghilangkan hambatan pada aliran sungai dari hulu ke hilir di wilayah DKI Jakarta dan masih tetap cenderung pada pengerasan (betonisasi)," ungkapnya.

Keempat, penataan kampung kota yang belum partisipatif. Anies membuat program penataan kampung meggunakan pendekatan partisipasi Warga. Rencana aksi ini merupakan salah satu dari 23 janji kampanye Anies Baswedan.

Penataan ini memang sudah terwujud. Tapi masalahnya, dalam penerapannya tidak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga Kampung Akuarium.

Kelima, Anies dianggap tidak serius dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum. "Hal ini dapat dilihat dengan kekosongan aturan mengenai bantuan hukum pada level Peraturan Daerah di DKI Jakarta," ucap dia.

Keenam, Charlie menganggap masih sulit memiliki tempat tinggal di Jakarta. Padahal, pada awal masa kepemimpinannya, Anies Baswedan menjanjikan program rumah DP Rp0 sebanyak 232.214 unit. Kemudian dipangkas tajam sehingga ditargetkan hanya membangun 10 ribu unit.

"Penyelenggaraan rumah pada awalnya diperuntukan kepada warga berpenghasilan strata pendapat 4-7 juta, kemudian diubah menjadi strata pendapatan 14 juta. Perubahan kebijakan yang cukup signifikan itu telah menunjukan ketidakseriusan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk memenuhi janji politiknya semasa kampanye," jelas Charlie.

Ketujuh, belum ada bentuk intervensi yang signifikan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, padahal wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan wilayah dengan karakteristik dan kompleksitas kerentanan yang jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah lain.

Kedelapan, penanganan pandemi yang masih setengah hati. LBH melihat capaian 3T Pemprov DKI justru masih rendah saat menghadapi masa krisis. Lalu, pelaksanaan vaksinasi untuk kelompok prioritas juga lambat, dan justru ditemukan banyak penyelewengan booster vaksin untuk pihak tidak berhak.

Kesembilan, penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta. "Ironisnya, perbuatan tersebut dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif HAM," cecarnya.

Kesepuluh, Charlie menyayangkan reklamasi masih terus berlanjut. Padahal, janji Anies sejak awal adalah menghentikan reklamasi.

Masalah ini muncul ketika pencabutan izin 13 pulau reklamasi dilakukan secara tidak cermat dan segera. Pemprov DKI Jakarta tidak memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk mencabut izin pelaksanaan reklamasi bagi perusahaan-perusahaan. Selain itu pencabutan tanpa didahului transparansi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

"Ketiadaan kajian tersebut terlihat kompromistis karena Anies tetap melanjutkan 3 pulau lainnya. Walhasil gelombang gugatan balik dari pengembang pun terjadi. Ketidakcermatan Pemprov dalam pencabutan izin tentunya mengancam masa depan penghentian reklamasi dan menjadikan pencabutan izin reklamasi sebagai gimmick belaka," ungkap dia.