Presiden Jokowi Diminta Lobi Pemerintah Malaysia Pulangkan Buronan Djoko Tjandra
JAKARTA - Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan dengan melobi pemerintah Malaysia untuk memulangkan buronan dalam kasus Cessie Bank Bali, Djoko Tjandra ke Indonesia.
Dia meminta Jokowi turun langsung karena sebelumnya, Jaksa Agung M. Prasetyo yang menjabat di tahun 2014-2019 pernah berupaya memulangkan Djoko lewat jalur ekstradisi namun gagal.
"Dibutuhkan peran Presiden RI Joko Widodo untuk melakukan lobi dan diplomasi tingkat tinggi dengan Perdana Menteri Malaysia Muhyidin Yassin untuk memulangkan Djoko Tjandra ke Indonesia," kata Boyamin seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa, 21 Juli.
Selain itu, Boyamin melihat selama ini telah terjadi upaya timbal balik yang baik antara Indonesia dan pemerintah Malaysia. Contohnya, dengan pemulangan Siti Aisyah dari Malaysia yang dituduh meracuni kakak pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, Kim Jong Nam di Bandara KLIA Kuala Lumpur.
Meski telah diancam hukuman mati, namun dengan upaya lobi-lobi tingkat tinggi termasuk penyerahan kapal mewah Equaminity kepada Malaysia, Siti Aisyah kemudian bisa dibawa pulang ke Indonesia dan diterima langsung oleh Presiden Jokowi.
Lebih lanjut, dia menilai diplomasi dan lobi-lobi ini harusnya bisa dilakukan karena Presiden Jokowi dengan Perdana Menteri Malaysia Muhyidin Yassin punya hubungan baik. Hal ini terlihat ketika Muhyidin terpilih dan dilantik sebagai Perdana Menteri Malaysia, Presiden Jokowi menghubunginya dan mengucapkan selamat.
"Hubungan baik ini semestinya digunakan untuk memulangkan Djoko Tjandra dari Malaysia," tegasnya.
Proses pemulangan itu dirasa sulit jika Presiden Jokowi tidak segera turun tangan untuk melakukan diplomasi. Sebab, Boyamin menduga Djoko Tjandra punya hubungan erat dan mendapat perlakuan spesial dari mantan Perdana Menteri Malaysia Nazib Razak.
Belum lagi, di dalam negeri sejumlah sengkarut untuk membuat Djoko Tjandra menghindar dari kasus hukumnya juga terus terjadi. Mulai dari Djoko Tjandra memasuki wilayah Indonesia tanpa terdeteksi, mendapatkan e-KTP, paspor, surat jalan, dan hilang status cekal telah mempermalukan pemerintah Indonesia.
Hal ini, sambung Boyamin, dinilai mempermalukan pemerintah dan masyarakat Indonesia sehingga sudah sepantasnya jika Presiden Jokowi turun tangan. "Segala upaya oleh aparat telah gagal sehingga Presiden Jokowi harus bertindak untuk menangkap Doko Tjandra," ungkapnya.
Baca juga:
Selain meminta Jokowi turun tangan, Boyamin juga meminta agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menolak permohonan Pengajuan Kembali (PK) yang diajukan oleh buronan tersebut. Apalagi, saat ini Djoko sudah tiga kali mangkir dengan alasan sakit yang diduga hanya sebagai dalih untuk mengulur-ulur waktu persidangan.
Dia juga menilai, permintaan pelaksanaan sidang secara daring seperti yang diajukan oleh Djoko juga tak bisa dilaksanakan dan harusnya ditolak.
Sebab, pelaksanaan sidang daring di Indonesia akibat pandemi COVID-19 dilakukan hanya untuk terdakwa yang ditahan maupun tidak ditahan yang bukan buronan. "Jadi permintaan sidang daring Djoko Tjandra jelas-jelas bentuk penghinaan terhadap pengadilan sehingga sudah semestinya ditolak oleh hakim," ujarnya.
"Djoko Tjandra harus sadar diri bahwa dia adalah buron sehingga tidak semestinya mendikte pengadilan untuk sidang daring dan mestinya pengadilan tidak meneruskan persidangan karena dia tidak menghormati proses persidangan," imbuh Boyamin.
Djoko Tjandra mendaftarkan peninjauan kembali (PK) terkait kasusnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni.
Namun, selama 3 kali persidangan yang digelar pada 29 Juni, 6 Juli, dan 20 Juli, buronan itu tak pernah hadir dengan alasan sakit. Pihak kuasa hukum Djoko menyebut jika kliennya sedang berada di Kuala Lumpur, Malaysia dalam rangka pengobatan.
Agar persidangan tersebut bisa berjalan dengan menghadirkan Djoko sebagai pemohon, kuasa hukumnya, Andi Putra Kusuma meminta, majelis hakim menggelar sidang peninjauan kembali (PK) perkara pengalihan hak tagih utang Bank Bali secara daring pada 27 Juli.
Permohonan ini diminta karena sidang tersebut adalah yang terakhir. Selain itu, Andi mengatakan kliennya kini sedang sakit dan tak bisa mengikutinya secara langsung. Di tambah, saat ini sedang memasuki kenormalan baru di masa pandemi COVID-19.
Sehingga, permintaan persidangan secara online ini mesti dikabulkan dan proses hukum tetap berjalan dengan baik. "Harusnya ada penyesuaian lah mengenai kondisi COVID sekarang ya," kata Andi.
Hanya saja, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak mengabulkan keinginan ini. Majelis tetap ingin Djoko Tjandra hadir dalam persidangan pada 27 Juli mendatang.