Presiden Jokowi Diminta Lakukan Evaluasi Terkait Pelarian Djoko Tjandra
Ilustrasi Djoko Tjandra (Netray)

Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan evaluasi kinerja sejumlah lembaga yang terkait dengan pelarian terpidana kasus cessie atau pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra.

Adapun sejumlah lembaga yang perlu dievaluasi adalah Polri, Kejaksaan Agung, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, dan Badan Intelejen Negara.

"Pelarian Djoko Tjandra ini mestinya dapat dijadikan momentum bagi Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja lembaga-lembaga terkait, yakni: Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen Imigrasi), dan Badan Intelejen Negara," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 31 Juli.

Evaluasi ini, kata dia, perlu untuk dilakukan oleh Presiden Jokowi agar ke depan tak ada lagi buronan kasus korupsi yang melakukan pelarian seperti Djoko Tjandra.

"Jika tidak ada evaluasi mendalam, maka tidak menutup kemungkinan di masa mendatang buronan korupsi lainnya akan melakukan tindakan serupa dengan yang dilakukan Djoko Tjandra," tegas dia.

Selain meminta Jokowi melakukan evaluasi, Kurnia meminta DPR segera mengajukan hak angket terhadap lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pelarian dari Djoko Tjandra.

"ICW mendesak agar DPR segera mengajukan hak angket terhadap lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pelarian dari Djoko Tjandra, yakni Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Intelejen Negara," ujarnya.

Sebelumnya, keberadaan Djoko yang buron sejak 2009 itu mulai menjadi sorotan ketika Komisi III DPR RI menggelar rapat kerja dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, 29 Juni yang lalu. Dalam rapat itu, Burhanuddin mengatakan dia mendapat informasi jika Djoko mendaftarkan peninjauan kembali terhadap kasus yang menjeratnya.

"Yang melukai hati saya, saya dengar Djoko Tjandra bisa ditemui di mana-mana. Di Malaysia dan di Singapura. Tapi kita minta ke sana-sini tidak bisa ada yang bawa," kata Burhanuddin saat itu sambil menambahkan pihaknya kecolongan karena buronan itu telah berada di Jakarta selama 3 bulan.

Selanjutnya, polemik bermunculan. Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa Djoko Tjandra bisa dengan mudah masuk ke Indonesia. Belakangan diketahui, Djoko ternyata sudah tak lagi berstatus Red Notice dari NCB Interpol.

Selain itu Djoko juga sempat mengajukan pembuatan KTP elektronik. Ternyata KTP itu bisa terbit secepat 'kilat'. Investigasi kemudian diberlakukan terkait penerbitan KTP-el tersebut. Hasilnya, Pemprov DKI Jakarta secara resmi menonaktifkan Lurah Grogol Selatan Asep Subahan karena terbukti memberikan pelayanan penerbitan KTP tersebut.

Tak hanya heboh soal KTP elektronik yang terbit secepat kilat. Kehebohan lain muncul setelah Indonesia Police Watch (IPW) menyebut seorang petinggi di tubuh Polri memberikan bantuan surat jalan kepada buronan ini dan dia bebas berpergian kemana pun.

Adapun petinggi yang dimaksud adalah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Pol Prasetyo Utomo.

Akibat perbuatannya itu, Prasetyo kemudian dicopot dari jabatannya dan ditetapkan sebagai tersangka pelanggar disiplin serta kode etik. 

Selain Prasetyo, ada dua jenderal Polisi lainnya yang harus menanggung akibat karena melanggar kode etik terkait pelarian Djoko Tjandra. Mereka adalah Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo.

Tak cukup melibatkan Polri dalam pelariannya, Djoko Tjandra dan pengacaranya, Anita Kolopaking diduga melibatkan jaksa. Dugaan ini disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Dia mengatakan dugaan ini muncul setelah adanya foto oknum jaksa bernama Pinangki Sirna Malasari bersama Djoko Tjandra.

Pertemuan Djoko dan Kasubag Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejaksaan Agung itu disebut-sebut dilakukan di Malaysia.

Mendapati laporan dari MAKI, Kejaksaan Agung bertindak cepat. Pinangki kemudian diperiksa oleh Bidang Pengawasan Kejagung dan dia diketahui melakukan perjalanan sebanyak sembilan kali ke luar negeri di tahun 2019 ke Singapura dan Malaysia.

Atas perbuatannya, Pinangki kemudian dijatuhi hukuman disiplin dan dicopot dari jabatannya.