Manusia Silver Beranak: Pandemi, Eksploitasi Anak, dan Sikap Radiohead

JAKARTA - Manusia silver beranak. Sebuah foto viral menunjukkan sesosok bayi dilumuri cat sablon abu-abu bercampur minyak goreng atau tanah. Isu pekerja anak di Indonesia kembali mengemuka. Ini bukan soal baru. Kita ingat bertahun-tahun lalu band alternatif rock asal Inggris, Radiohead menyoroti kerasnya hidup anak Indonesia sebagai pekerja.

Akhir pekan lalu, sebuah foto bayi tertidur yang dicat silver viral. Bayi itu diduga dibawa untuk mengemis di wilayah Pamulang, Tangerang Selatan. Kepala Satpol PP Kota Tangerang Selatan Muksin Al Fachry menjelaskan orang tua dari bayi itu telah ditemukan. Bayi silver dan ibunya kemudian dibawa ke Dinas Sosial Tangerang Selatan.

"Menurut pengakuan ibunya, yakni NK (21) bayi itu usia sepuluh bulan. Bayi itu belum memiliki akte kelahiran karena lahirnya tidak di rumah sakit dan tidak mungkin dibuatkan akte," kata Muksin kepada wartawan, Minggu, 26 September.

Menurut keterangan sang ibu, bayi berinisial MFA itu biasa dititipkan ke tetangganya. Sang ibu mengaku tahu tetangganya bekerja sebagai manusia silver tapi tak tahu bayinya diajak jadi manusia silver. Hanya kemudian tetangganya itu memberi NK Rp20 ribu untuk beli pampers dan susu. "Tapi memang pada saat pulang badan dan tangan serta kakinya ada cat silvernya." 

Pertumbuhan populasi manusia silver dan kegagalan pemerintah di awal pandemi

Komnas Perlindungan Anak (PA) mencatat ada 189 keluarga manusia silver di Jakarta. Sebagian dari keluarga-keluarga itu melibatkan anak, bahkan bayi --jumlahnya ratusan-- yang juga dijadikan manusia silver dan diajak mengamen keliling untuk mencari nafkah.

Tak cuma di Jakarta. Keluarga manusia silver juga ditemukan di sejumlah wilayah penyangga Ibu Kota, seperti Kota Depok dan Tangerang Selatan. Di Depok ada 200 keluarga manusia silver, termasuk anak, balita, dan bayi.

Ketua Komnas PA Arist Merdeka sirait menyebut populasi manusia silver jadi masalah sosial baru. “Mereka hidup di jalanan, rumah kardus, atau tinggal di kolong jembatan,” kata Arist.

"Kasus bayi di Tangerang Selatan yang dicat silver sebagian kecil dari fenomena baru yang selalu luput dari perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah," Arist, dalam keterangan tertulis.

Menurut Arist, pandemi COVID-19 mendorong semakin banyak orang untuk mencari nafkah dengan cara menjadi manusia silver. Arist juga menyoroti tindakan para orang tua menjadikan anak sebagai objek pekerja sebagai bentuk kekerasan dan berbahaya.

"Ini merupakan bentuk kekerasan terhadap anak, kejahatan kemanusiaan, dan merendahkan martabat anak. Masalah sosial baru ini harus dihentikan dan dicari jalan keluar atau solusinya," kata Arist.

Pertumbuhan populasi manusia silver akibat pandemi disadari Dinas Sosial Jakarta Pusat. “Dulu bisa kita lihat tidak ada yang seperti itu. Artinya, ini situasi pandemi yang memengaruhi ekonomi masyarakat,” ujar Kepala Suku Dinas Ngapuli Parangin Angin, November lalu, dilansir Antara.

Ilustrasi foto manusia silver (Sumber: Antara)

Pusat Penyuluhan Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) menyebut fenomena manusia silver ada sejak 2020. Mereka muncul di kota-kota besar Indonesia. Menurut catatan Kemensos banyak dari mereka yang sebelumnya berprofesi sebagai pengamen. Lainnya adalah mereka yang semula kerja kantoran namun kemudian kena PHK akibat pandemi.

Februari lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data peningkatan jumlah warga miskin Indonesia akibat pandemi COVID-19 mencapai lebih dari 2,7 juta jiwa. Peningkatan itu, menurut para peneliti disebabkan kebijakan pandemi yang tak tegas di awal. Bonus kabar buruk, akibat ketidaktegasan itu upaya pemulihan ekonomi diprediksi akan membutuhkan waktu lama.

Menurut catatan BPS, pandemi berakibat pada putusnya rekor pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena pandemi, pertama kalinya angka kemiskinan meningkat selama tiga tahun terakhir. Data BPS mengklasifikasi penduduk miskin adalah mereka yang pengeluarannya di bawah Rp460 ribu per orang atau Rp2,2 juta per keluarga per bulan.

Pada September 2020, jumlah warga miskin mencapai hampir 28 juta orang atau 10,19 persen dari jumlah penduduk. Angka itu naik hampir satu persen jika dibandingkan September 2019. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengklaim bantuan sosial lewat Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) telah menahan pertumbuhan penduduk miskin.

Mengutip data Bank Dunia, Kemenkeu menyebut tanpa PEN, angka kemiskinan bisa mencapai 11,8 persen. "Artinya Program PEN sepanjang 2020 diperkirakan mampu menyelamatkan lebih dari lima juta orang menjadi miskin baru," tutur Kepala Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu, dikutip BBC.

Peneliti ekonomi Universitas Indonesia, Teguh Dartanto mendalami kegagalan pemerintah di awal pandemi dengan dampak panjangnya terhadap kemiskinan penduduk. Klaim Kemenkeu ada benarnya. Tapi, "apakah kebijakan ini berkelanjutan? Tidak. Namanya painkiller (pereda nyeri). Itu hanya meredakan. Tidak menjadi solusi penyakit itu sendiri," tutur Teguh.

Pekerja anak di Indonesia

Indonesia adalah salah satu negara dengan angka pekerja anak yang tinggi. Fakta yang bahkan diakui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Dan kondisi teraktual, menurut Bintang Puspayoga --sapaan lebih familiarnya-- makin memprihatinkan.

"Hingga kini masih memprihatinkan dan bahkan semakin mengkhawatirkan setelah datangnya pandemi COVID-19," katanya dalam sebuah webinar.

Berdasarkan data Sakernas pada Agustus 2020, diketahui 9 dari 100 penduduk berusia 10-17 tahun (9,34 persen atau 3,36 juta) telah dipekerjakan. Dari angka itu, 1,17 juta di antaranya anak. Peningkatan pekerja anak terlihat dengan membandingkan data 2019. Pekerja anak pada kelompok usia 10-12 tahun dan 13-14 mengalami peningkatan paling signifikan.

Data itu juga menunjukkan pekerja anak lebih banyak di pedesaan ketimbang perkotaan, persentasenya 4,12 persen berbanding 2,53 persen. Dipecah ke jenis kelamin, pekerja anak laki-laki lebih banyak ketimbang perempuan, dengan perbandingan 3,34 persen dan 3,16 persen.

Ilustrasi foto (Aalok Atreya/Unsplash)

"Meskipun demikian, ILO menyebutkan terdapat kemungkinan bahwa banyak pekerjaan anak perempuan yang tidak terhitung karena mereka banyak mengerjakan beban perawatan tidak berbayar seperti mengurus rumah tangga," tutur Bintang.

Isu pekerja anak merupakan persoalan serius karena mengancam terpenuhinya hak-hak anak. Pekerja anak mengakibatkan risiko putus sekolah, penelantaran, serta mendorong anak masuk ke situasi berbahaya yang mengancam tumbuh kembang mereka secara maksimal. Menurut data, pada Agustus, mayoritas pekerja anak usia 15-17 tahun atau 73,72 persen tak lagi bersekolah.

Di Indonesia, regulasi mengenai anak yang dipekerjakan diatur dalam sejumlah aturan. Pasal 88 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, misalnya, mengancam penjara maksimal sepuluh tahun dan/atau denda maksimal Rp200 juta kepada setiap orang yang mempekerjakan anak.

Lainnya, Pasal 185 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan hukuman penjara maksimal empat tahun dan/atau denda maksimal Rp400 juta bagi pelaku usaha yang mempekerjakan anak di bawah umur. Namun, UU Ketenagakerjaan memberi ruang bagi pengusaha untuk melegalisasi pemanfaatan tenaga anak yang berusia di atas 12.

Pertama, pengusaha harus mendapatkan izin tertulis dari orang tua. Kedua, pengusaha dan orang tua wajib menandatangani perjanjian. Lalu, anak hanya boleh bekerja maksimal tiga jam per hari. Pekerjaan juga hanya boleh dilakukan di siang hari. Terakhir, pekerjaan anak tak boleh mengganggu pendidikan, kesehatan, fisik, sosial, dan mental.

Radiohead dan kampanye MTV Exit

"Ayo, semua. Ayo, bangun. Bangun, bangun!"

Seorang wanita berteriak sembari mengayunkan kakinya ke arah gerombolan anak yang tengah tidur di sebuah lorong. Pemandangan di layar terbagi menjadi dua. Dua cerita yang melaju paralel diputar. Sisi kiri menunjukkan gelapnya kehidupan anak-anak pekerja pabrik sepatu yang mereka sebut "kehidupan anak di timur". Sementara, sisi kanan menampilkan kehidupan nyaman yang didapat seorang anak laki-laki di dunia belahan barat.

Banyak yang meyakini video itu menggambarkan gelapnya kondisi anak-anak yang dipekerjakan di Indonesia. Beberapa tahun sebelum video, tepatnya 2002, Indonesia jadi sorotan dunia karena kasus perbudakan anak di sebuah pabrik sepatu di Bandung, Jawa Barat. Sejumlah teori mengenai itu juga diperkuat dengan komentar-komentar penonton di dalam unggahan video YouTube.

>

I'm the next act

Waiting in the wings

I'm an animal

Trapped in your hot car

I am all the days

That you choose to ignore

Suara Thom Yorke mengalun, menyusul string berirama minor. Gelap. Sempurna. Itulah kali pertama, saya yang masih duduk di kursi SMA dihadapkan pada sebuah realita tentang anak-anak yang dipekerjakan. Dieksploitasi.

Thom Yorke adalah musisi yang tak pernah menyimpan pandangan politiknya untuk diri sendiri. Mengikuti kiprah Radiohead hampir sama dengan menelusuri jejak pemikiran Thom Yorke dan caranya menyikapi persoalan-persoalan di dunia.

Tahun 2008, ketika dihubungi MTV untuk ambil bagian dalam kampanye MTV EXIT (End Exploitation and Trafficking), Thom Yorke spontan antusias. "Sangat menyenangkan MTV mengangkat ini. Biasanya ini adalah sesuatu yang hanya bisa saya bicarakan dengan orang-orang yang dianggap 'sayap kiri ekstrem' atau apa pun. Jadi sangat bagus karena kita tak perlu berada di sisi manapun (dalam politik) untuk melihat kesalahan dalam isu ini," kata Thom Yorke, kami kutip dari MTV.com, Kamis, 23 Juli.

Proyek ini istimewa. Radiohead dan MTV menggandeng sinematografer pemenang Oscar, John Seale (The English Patient-1997). Di kursi sutradara, Steve Rogers jadi pengarah. Proyek itu menargetkan dampak besar, yakni kesadaran kolektif masyarakat dunia tentang gelapnya kenyataan nasib anak-anak yang dipaksa bekerja. Video ini juga diharapkan dapat menyadarkan banyak pria dan wanita dewasa bahwa beberapa dari kita mungkin saja tengah menjalani bentuk eksploitasi.

Ada alasan kenapa Radiohead memilih lagu All I Need dari album In Rainbows dalam proyek ini. Alasan yang dapat diterjemahkan dengan sangat baik oleh Seale dan Rogers. "Itu adalah jenis gambar yang ada di kepalaku," kata Thom Yorke.

"Kadang-kadang ketika kamu berjalan menyusuri High Street dan kamu melihat (sepatu) yang sangat murah, kamu semacam berpikir, 'Hmmm, bagaimana mereka bisa membuat itu sangat murah?' Momen berpikir itu menyentuh saya bahwa musiknya (All I Need) akan sesuai dengan isu ini. Saya pikir ini akan hebat," tambahnya.

*Baca Informasi lain soal KEMISKINAN atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya