Pekerjanya Terlibat Pelecehan dan Eksploitasi Seks di Kongo, Dirjen WHO: Tidak Dapat Dimaafkan

JAKARTA - Lebih dari 80 pekerja bantuan termasuk beberapa yang dipekerjakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diduga terlibat dalam pelecehan dan eksploitasi seksual selama krisis Ebola di Republik Demokratik Kongo, sebuah komisi independen mengatakan pada Selasa.

Penyelidikan didorong oleh penyelidikan tahun lalu oleh Thomson Reuters Foundation dan The New Humanitarian, di mana lebih dari 50 wanita menuduh pekerja bantuan dari WHO dan badan amal lainnya menuntut seks dengan imbalan pekerjaan antara 2018-2020.

Dalam laporannya, komisi menemukan setidaknya 21 dari 83 tersangka pelaku dipekerjakan oleh WHO, dengan sejumlah pelanggaran, termasuk sembilan tuduhan pemerkosaan, dilakukan oleh staf nasional dan internasional.

"Tim peninjau telah menetapkan, para korban yang diduga dijanjikan pekerjaan sebagai imbalan hubungan seksual atau untuk mempertahankan pekerjaan mereka," kata anggota komisi Malick Coulibaly dalam konferensi pers, mengutip Reuters 29 September.

Banyak dari pelaku laki-laki menolak untuk menggunakan kondom dan 29 dari perempuan hamil dan beberapa dipaksa untuk kemudian digugurkan oleh pelakunya, tambahnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang telah berjanji tidak menoleransi pelecehan seksual mengatakan, laporan itu membuat "bacaan yang mengerikan" dan meminta maaf kepada para korban.

"Apa yang terjadi pada Anda seharusnya tidak pernah terjadi pada siapa pun. Itu tidak dapat dimaafkan. Prioritas utama saya adalah memastikan bahwa para pelaku tidak dimaafkan, tetapi dimintai pertanggungjawaban," katanya, menjanjikan langkah-langkah lebih lanjut termasuk "reformasi menyeluruh dari struktur dan budaya kita."

Terpisah, Direktur Regional Matshidiso Moeti mengatakan, WHO malu, takut dan sedih dengan temuan tersebut. Sementara, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga meminta maaf dan berterima kasih kepada para korban atas keberanian mereka untuk bersaksi.

Para pelaku yang diketahui telah dilarang dari pekerjaan WHO di masa depan, sementara kontrak empat orang yang dipekerjakan oleh badan kesehatan telah dihentikan, kata para pejabat.

Tidak jelas apakah para pelaku eksploitasi pelecehan seksual akan diadili. Tedros mengatakan dia berencana untuk merujuk tuduhan pemerkosaan ke Kongo dan ke negara-negara tersangka pelaku. Beberapa di antaranya masih belum teridentifikasi.

Menanggapi penanganan yang dilakukan, perwakilan para korban di Beni, yang pernah menjadi hotspot Ebola di Kongo timur, Afrika menyambut baik reaksi WHO tetapi mendesak untuk berbuat lebih banyak.

"Kami mendorong WHO untuk melanjutkan dan menunjukkan kepada masyarakat, personelnya yang melecehkan perempuan dan anak perempuan mereka di komunitas kami telah benar-benar dihukum berat," kata Esperence Kazi, koordinator kelompok hak-hak perempuan 'One Girl One Leader' di Beni, Kongo