Cuma Kasino yang Berani Jadikan Jenderal Hoegeng Wali Nikahnya
JAKARTA - Hoegeng Imam Santoso adalah salah satu tokoh paling menonjol zaman Orde Baru (Orba). Sikap lurusnya tak saja melahirkan kekaguman tapi juga pencekalan. Ia dicekal dari sederet acara publik, termasuk pernikahan. Namun tak semua tunduk pada Orba. Kasino ‘Warkop DKI’ misalnya. Kasino tak ambil pusing dan malah mengundang Hoegeng jadi wali pernikahannya.
Tiada yang berubah dari sosok Hoegeng ketika masih aktif sebagai polisi dan pensiun. Sikap lurusnya tetap dipertahankan sedari awal mundur sebagai Kapolri pada 1971. Ia selalu perhatian, prihatin, risau dan kritis tiap ada pejabat negara yang melanggengkan korupsi hingga penyalagunaan jabatan. Tindak-tanduknya membuat pemerintah Orba secara tidak langsung mulai membatasi ruang gerak dari Hoegeng.
“Menurut Hoegeng, masa itu bukan sedikit pemimpin-pemimpin bangsa yang kehilangan wibawa karena matanya silap oleh kekuasaan dan kebendaan sehingga apa yang dinamakan rule of law dilanggar sendiri. Lantas ke mana rakyat harus berlindung dan minta bantuan, kalau harapan-harapan menjadi semakin menipis? Justru karena kemerosotan inilah Hoegeng tak mau tinggal diam meskipun ia sudah tak menjadi Kapolri lagi, sudah menjadi the man on the street,” tulis Aris Santoso dkk dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan Di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).
Buahnya banyak orang yang mengurungkan niatan mengundang Hoegeng ke berbagai acara. Ketakutan itu beralasan. Sebab, pemerintahan Orba di bawah Soeharto melihat mereka yang melakukan kritik sebagai musuh bersama. Jadi, barang siapa yang ikut melanggengkan eksistensi orang yang mengkritik dipikirnya akan diasingkan alias ikut dicekal.
Namun, pria bernama Lengkap Kasino Hadiwibowo tak gentar. Pria yang bergabung dengan grup lawak legendaris Warkop DKI justru mendorong Hoegeng sebagai wali nikahnya untuk menikahi Amarmini pada 30 April 1976. Kala itu Kasino paham betul dengan segala konsekuensi. Pun Kasino sendiri sering melontarkan kritik lewat humor kepada Orba.
Mediumnya ketika itu adalah mengudara di Radio Prambors. Bukan sekali dua kali tapi kritikan itu diberikan berkali-kali. Terutama kepada Keluarga Cendana. Lantaran itu muncullah jargon khas dari Warkop DKI: Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang.
“Suasana makin jelas kurang ajarnya saat penyanyi jam session lagu-lagu nostalgia mahasiswa 1970-an mulai panas dan melontarkan lagu setengah protes semisal lagu Dang-dang Tut Akar Aling-aling, sambil meneruskan kalimat ‘si Bambang si Tutut, bapaknya raja maling.’ Malah Kasino membuat sayembara apakah artinya dari singkatan Toshiba (Tommy, Sigit, Bambang)” kenang Rudy Badil dalam buku Warkop: Main-Main, Jadi Bukan Main (2010).
Dicekal Orba terang-terangan
Pencekalan paling nyata kepada Hoegeng dimulai ketika orang nomor satu Indonesia, Soeharto menyalahtafsirkan Pancasila untuk membungkam lawan politiknya pada 1980. Hoegeng tak tinggal diam. Bersama 49 tokoh nasional lainnya Hoegeng menyampaikan kecaman daripada Soeharto lewat corong Kelompok Petisi 50.
“Alumnus PTIK tahun 1952 ini lebih senang jadi orang bebas, ia tampil dengan grup musik Hawaian Senior di TVRI, satu-satunya saluran televisi masa itu. Tetapi musik barat dengan kalungan bunga itu dianggap kurang sesuai ‘kepribadian nasional’ oleh Menteri Penerangan, Ali Moertopo sehingga ia tidak boleh tampil lagi. Kemudian Hoegeng bergabung dengan rekan-rekannya yang kritis dalam Petisi 50. la tetap sederhana. Ketika rapat kelompok ini di rumah Ali Sadikin, tidak jarang Hoegeng naik bajaj,” tulis Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010).
Nyatanya, kritikan dari Kelompok Petisi 50 membuat murka Soeharto. Seluruh anggota Petisi 50 dianggapnya sebagai musuh politik. Mereka kemudian divonis dengan hukuman kematian perdata. Wujud kematian perdata antara lain pencekalan keluar negeri, diisolasi dari pemberitaan media massa, acara televisinya dihentikan, dan dilarang hadir ke berbagai acara kemasyarakatan, termasuk acara pernikahan.
Salah satunya, Hoegeng pernah begitu bahagia menerima tawaran sahabatnya Soemitro Djojohadikoesoemo menjadi wali nikah anaknya, Prabowo Subianto yang menikahi Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto). Namun, Soemitro tak seberani Kasino. Rencana itu kemudian jadi berantakan.
Impian Soemitro Djodjohadikoesoemo menjadikan Hoegeng sebagai wali nikah anaknya harus pupus. Soeharto tak setuju kalau Hoegeng yang menjadi saksi dalam pernikahan anaknya. Jangankan itu. Mantan Kapolri itu juga tidak dapat menghadiri pesta pernikahan Prabowo. Padahal, segala cara telah dilakukan Soemitro untuk membujuk Soeharto. Hasilnya nihil. Soeharto tetap pada pendiriannya melarang Hoegeng terlibat dalam seluruh acara yang dihadiri olehnya, tanpa terkecuali.
Nasib serupa juga dirasakan oleh sahabat Hoegeng lainnya, Mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (1966-1977). Soemitro bahkan mendatangi langsung rumah Ali Sadikin yang juga bagian dari Kelompok Petisi 50. Soemitro menyampaikan permintaan maaf tidak mengundangnya pada pernikahan Prabowo. Sekalipun Soemitro telah berusaha, jawaban yang diberikan Soeharto tetap sama. Ali Sadikin maupun Hoegeng telah maklum.
“Yang paling nyata waktu Pak Mitro (Soemitro Djodjohadikusumo) akan mengawini putranya, Prabowo. Pak Mitro datang sendiri ke rumah Pak Hoegeng dan ke rumah saya. Padahal dia orang tua, sedangkan saya ini apalah artinya. Rupanya ia ingin menghargai saya dan ingin menyatakan sikap menyesal.”
“Pak Mitro datang untuk meminta maaf karena tidak bisa mengundang saya, sebab katanya, ia sudah berusaha, tetapi tetap dilarang sekuriti. Larangan mengundang juga kepada TNI AL termasuk Korp Marinir. Begitu pula Pemda DKI. Merayakan pembukaan Pekan Raya Jakarta (PRJ) pun saya tidak boleh diundang, padahal saya yang mendirikan PRJ,” cerita Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab (1995).
*Baca Informasi lain soal ORDE BARU atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.