Polemik Santri Tutup Kuping Kala Mendengar Musik: Intoleransi dari Kelompok yang Mengaku Paling Toleran?

JAKARTA -  Viralnya video santri yang menutup telinga ketika mendengarkan musik di lokasi vaksin menjadi polemik. Banyak yang menyanangkan mengapa hal yang menjadi kepercayaan sekelompok orang itu turut dipermasalahkan.

Usut punya usut, para santri tidak mau mendengar musik yang disetel di tempat vaksin tersebut. Meski demikian, tidak jelas kapan dan di mana lokasi kejadian tersebut. Tidak disebutkan juga berasal dari mana para santri tersebut.

"Masya Allah, santri kami sedang antre vaksin," kata pria perekam video tersebut yang diduga guru mereka. "Qodratullah, di tempat vaksin ini diputar musik. Anda lihat jika santri-santri kami tengah menutup telingannya, agar tidak mendengarkan musik ini."

Video ini lantas dihujani beragam komentar oleh netizen. Ada yang menganggap hal tersebut terlalu berlebihan, ada yang bersimpati para santri, bahkan ada yang menjadikan video tersebut sebagai bahan candaan bahwa para santri tersebut takut godaan setan.

Pegiat media sosial Denny Siregar misalnya. Ia mengunggah video tersebut di akun Instagram-nya.  "Kalo gua petugasnya, langsung gua setelin mereka Metaliica. Exit light...enter night..." ucap Denny pada Senin 13 September.

Video tersebut juga diunggah oleh akun Twitter @_ekokuntadhi. Dalam unggahannya, ia menandai akun resmi milik musisi Addie MS, dengan keterangan "Mas @addiems pasti menitikan air mata menyaksikan video ini. Kasian anak-anak kita..."

Video santri yang menutup telinganya juga mendapat tanggapan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Wakil Sekjen MUI, M Ziyad, mengatakan duduk perkara peristiwa perlu diperjelas. Ziyad juga menduga hal tersebut bukanlah soal paham radikal melarang musik. "Di dalam berita itu, tidak dijelaskan di mana posisi santri itu. Ini perlu juga di-clear-kan," kata Ziyad, mengutip Detik.

Ziyad juga mengatakan bahwa dia adalah pengajar Tahfiz Alquran atau penghafal Alquran. Menurutnya, para santri dijaga hafalannya agar tidak terpengaruh oleh hal-hal lain.

"Anak santri ini memang dijaga betul hafalan alqurannya termasuk jangan sampai mendengarkan hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi hafalan-nya. Itu salah satunya itu adalah musik. Suara-suara, nggak hanya musik saja gitu," tambah Ziyad.

Sementara itu, tak sedikit warganet yang menilai tanggapan orang-orang yang melihat tindakan para santri berlebihan, dan berpotensi menjadi intoleransi. Sebab mau bagaimanapun juga menganut kepercayaan seperti itu merupakan hak bagi si santri. Apalagi tindakan mereka tidak sampai mengganggu orang lain.

Forum Pusat Kerukunan Umat Beragama (Sumber: kemenag.go.id)

Masih jelas di ingatan kasus intoleransi pemaksaan murid beragama lain mengenakan jilbab di sekolah negeri dengan alasan 'tradisi' atau 'kearifan lokal.' Lalu pada September 2020, terdapat kasus intoleransi yaitu sekelompok orang mengganggu ibadah jemaat HKBP KSB di Kabupaten Bekasi.

Di daerah lain tepatnya di Bogor, terdapat kasus sekelompok warga Graha Prima Jonggol yang menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta. Lalu ada larangan beribadah terhadap jemaat Rumah Doa Gereja GSJA Kanaan di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, pada 2 Oktober 2020.

Kasus yang disebutkan di atas memang berbeda dengan video santri yang menutup telinga saat ada alunan musik. Namun kasus-kasus tersebut memiliki persamaan: sulitnya orang menerima atau menghormati apa yang diyakini atau dianut orang lain. Kita semua kerap mengutuk sikap tidak menghargai keyakinan orang lain. Namun kenapa hal ini masih kerap terjadi, tak terkecuali bagi mereka yang mengaku paling toleran.

Makna toleransi sebenarnya

Mengutip jurnal Konsep Toleransi dan Kebebasan Beragama yang ditulis Abu Bakar, istilah toleransi berasal dari Bahasa Latin, “tolerare” yang berarti sabar terhadap sesuatu. Bisa dibilang, toleransi merupakan suatu sikap atau perilaku manusia yang mengikuti aturan, di mana seseorang dapat menghargai, menghormati terhadap perilaku orang lain. Istilah toleransi dalam konteks sosial budaya dan agama berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu masyarakat.

Poin-poin toleransi sendiri memang masih kontroversi dan mendapat kritik dari berbagai kalangan, baik dari kaum liberal maupun konservatif. Akan tetapi, toleransi antar umat beragama jelas, sikap untuk menghormati dan menghargai kelompok-kelompok agama lain.

Hal ini sejalan dengan pendapat Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Suprapto. Suprapto menjelaskan bahwa ketika individu mau mengucap, mendengar, bahkan menulis toleransi seharusnya tidak hanya sekadar mengucap, mendengar, dan menulis, tetapi ada internalisasi. Artinya, meresap ke diri kita apa itu toleransi.

"Ketika sudah meresap maka harus sampai pada institusional atau perilaku tersebut melembaga, menjadi pola perilaku. Jangan hanya menuntut orang lain saja. Apa yang kita pahami kita lakukan (untuk bertoleransi)," kata Suprapto, saat dihubungi VOI.

Perlu diingat kembali dasar dari toleransi yaitu menghargai dan menghormati terhadap perilaku orang lain. Dalam konteks viralnya santri menutup telinga saat ada musik, seharusnya orang yang melihatnya bisa mengerti bahwa hal tersebut adalah sesuatu ajaran yang mereka yakini dan kita bisa menghargainya, pun yang dilakukan para santri itu tidak merugikan orang di sekitar.

"Jika kita saling memahami, memberikan fungsi, kehidupan manusia bisa sangat nyaman. Namun tidak semua orang mau atau bisa take and give. Kita mengambil sesuatu, meratakan sesuatu dari orang lain, tetapi seharusnya juga bisa "memberi" maksudnya memberi makna atau maklum yang dilakukan orang lain sepanjang tidak mengganggu kita," tambah Suprapto.

Meski demikian, perlu diingat bahwa tidak semua orang setuju dengan pendapat orang-orang yang merasa "iba" atau menyayangkan kejadian di video tersebut. Jika kita kembali menemukan orang seperti itu, mereka hanyalah orang egois yang tidak mengerti keindahan keragaman.

Karenanya Suprapto mengingatkan masyarakat seharusnya berkualitas sistem. Maksudnya, sejumlah orang beserta kegiatannya yang terdiri dari sejumlah unsur bisa saling mengisi dan memberi fungsi saat dibutuhkan.

Musik dan Islam

Perlu digarisbawahi bahwa hukum memainkan atau mendengarkan musik dalam literatur hukum Islam, terdapat perbedaan pendapat. Hal ini dijelaskan kontan oleh Ustaz Ibnu Kharish atau yang akrab dipanggil Ustaz Ahong.

Kepada VOI Ustaz Ahong menjelaskan, bagi ulama yang mengharamkan, mendengarkan atau memainkan musik mutlak dilarang. Bagi ulama yang memperbolehkan, mendengarkan atau memainkan musik baru dilarang jika musik ini mengarah ke suatu hal yang melanggar aturan-aturan Islam.

"Misalnya musik sambil mabuk-mabukan dan sebagainya. Mendengarkan musik dilarang jika hal itu mendekatkan ke hal yang dilarang agama. Namun jika mendengarkan musik membuat dia dekat dengan Tuhan, (contohnya) para sufi yang ahli tasawuf, ahli membersihkan hatinya, juga ada yang menggunakan musik sebagai medium untuk mendekatkan diri kepada Allah," jelas Ustaz Ahong.

Ustaz Ahong juga menjelaskan rujukan ulama yang membolehkan untuk mendengarkan musik. Suatu hari, di Madinah tepatnya di rumah Nabi Muhammad SAW, ada pegelaran musik dari orang Etiopia yang mengunjungi Nabi Muhammad.

Waktu itu Aisyah juga ikut menikmati alunan musik tersebut. Namun ayah Aisyah yaitu Abu Bakar, menegur Aisyah. Tapi Nabi Muhammad tetap mengizinkan untuk menikmati musik tersebut karena hari tersebut adalah hari yang bersukacita.

Sementara bagi ulama yang tidak membolehkan mendengar atau memainkan, ada yang merujuk pada hadis yang menyebutkan bahwa seruling bagian dari bisikan setan dan sebagainya. "Saya pribadi ambil tengahnya. jika itu (musik) medium untuk mendekatkan diri pada Allah, untuk instropeksi, tenangkan hati ya enggak apa-apa," ujar Ustaz Ahong.

Pendidikan di pesantren terkait musik pun berbeda-beda. Ada yang benar-benar melarang contohnya seperti yang kerap diterapkan oleh pesantren tradisional, ada yang mengizinkan jika sedang hari libur. Kembali lagi, itu semua tergantung dari rujukan hukum yang diyakini.

Dari kasus viralnya video santri yang menutup telinga agar tidak mendengarkan musik, hal yang paling disoroti adalah bagaimana orang lain menganggap hal tersebut adalah tindakan radikal. Padahal jika kita semua bisa bertoleransi, hal seperti ini tidak harus "diramaikan."

"Radikal kan takarannya pada tindakan yang melawan hukum kayak hate speech, menyakiti orang lain, merusak properti orang, bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Itu (bisa dikatakan) radikal bahkan masuk kategori tindak teroris. Kalau sebatas seperi itu (menutup telinga ketika ada musik) dan tidak mengganggu orang lain atau tidak menyakiti orang lain ya sah-sah saja," tutup Ustaz Ahong. 

*Baca Informasi lain soal AGAMA atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya