Isu: Terduga Korban Pelecehan KPI Dipaksa Damai, Fakta: UU ITE Kerap jadi Alat Transaksi Kasus
JAKARTA - Kasus dugaan pelecehan dan perundungan pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), MS kembali disoroti. Kini kabar beredar MS dipaksa damai. Publik juga menyoroti pelaporan UU ITE yang dilakukan sejumlah pelapor terhadap MS. Benarkah MS tersandera? Bukan apa-apa. UU ITE pada kenyataannya memang kerap digunakan untuk hal-hal semacam ini.
Isu ini bermula dari pemanggilan MS ke kantor KPI, Jakarta Pusat pada Selasa-Rabu, 7-8 September kemarin. Dalam dua pertemuan itu MS diminta datang tanpa kuasa hukum. Pada hari Rabu, MS dan para terlapor dipertemukan di sebuah ruangan.
Dalam kesempatan itu MS disodori surat perdamaian, di mana isinya juga menyangkut pencabutan perkara. Mehbob menduga pertemuan ini sengaja diinisiasi oleh pihak KPI dengan tujuan menyelamatkan nama baik lembaga.
"MS tidak mau. Mereka melakukan cara-cara tidak benar lah. Dan isi perdamaiannya itu seolah-olah tidak ada kejadian seperti itu dan MS disuruh klarifikasi segala," tutur Mehbob, kuasa hukum MS, kepada VOI, Jumat, 10 September.
"Saya kira mungkin ada salah satu oknum komisioner KPI, yang kita tidak tahu siapa. Walaupun pada pertemuan itu tidak ada komisioner KPI tapi itu di lingkungan KPI. Mustahil kalau komisioner KPI tidak tahu."
Tegar Putuhena, kuasa hukum terlapor berinisial RT dan EO membenarkan pertemuan. Ia mengatakan kliennya datang dengan posisi sama: atas panggilan KPI dan tanpa kuasa hukum. Menurut Tegar dalam panggilan telepon, kliennya diberitahu ada upaya damai.
"Ketemu siapa di sana, agenda apa di sana, diundang oleh siapa, kita enggak tahu. Kita sama sekali enggak tahu. Tapi yang pasti setelah dia ketemu, kemudian terlapor, salah satu terlapor itu ada yang menelepon dari KPI. Itu gue juga enggak tahu siapa," tutur Tegar, dihubungi VOI, Jumat, 10 September.
"Intinya bilang, 'Ini ada proses mau bicara, nih, fasilitasi mau bicara sama kalian.' Itu di-share ke semua terlapor. Mereka saling komunikasi. Sampailah ke saya dari klien saya, yang dua orang itu ... Saya bilang kalau niatnya baik mau damai ya enggak apa-apa. Tanpa penasihat hukum. Yang penting posisinya sama-sama tanpa penasihat hukum."
Tegar mengatakan pihaknya menyambut wacana mediasi jalan damai itu. Pihaknya bahkan telah menyusun syarat-syarat yang perlu dipenuhi MS. Pun sebaliknya. Tegar menyatakan terbuka pada diskusi soal syarat damai. "Kalau opsi damai, maka jelaskan syaratnya. Itu proses yang biasa."
Kami mencoba menghubungi Ketua KPI Agung Suprio dan Komisioner Nuning Rodiyah. Telepon kami tak diangkat. Pesan WhatsApp kami berakhir dengan dua centang biru.
Benarkah MS terintimidasi?
Kuasa hukum MS, Mehbob menjelaskan pihaknya telah meminta pendampingan pada Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Posisi kliennya tengah berada di bawa intimidasi, kata Mehbob. Termasuk soal pelaporan UU ITE atas pencemaran nama baik yang dilakukan pihak terlapor.
Meski begitu Mehbob mengaku tak khawatir karena apa yang ditulis MS, menurut Mehbob adalah fakta hukum. Mehbob juga optimis pendampingan LPSK dan Komnas HAM akan melindungi kliennya secara hukum.
"Intimidasi dengan dia mau melaporkan balik segala. Itu kan bagian dari intimidasi. Kalau MS tidak mencabut akan dilaporkan balik. Kami dari tim tidak khawatir karena apa yang MS tulis itu adalah apa yang dia alami dan dia rasain dan itu adalah bagian dari fakta hukum kan ... Itu intimidasi dan membuat kriminalisasi kan," kata Mehbob.
"Tapi kan dengan nanti mudah-mudahan LPSK sudah memberikan perlindungan, otomatis menurut UU 31 tentang Perlindungan Saksi Korban dan Pasal 10 secara tegas itu tidak bisa MS dituntut secara hukum sampai perkaranya selesai dan memunyai kekuatan hukum tetap," tambahnya.
JAKARTA - Kasus dugaan pelecehan dan perundungan pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), MS kembali disoroti. Kini kabar beredar MS dipaksa damai. Publik juga menyoroti pelaporan UU ITE yang dilakukan sejumlah pelapor terhadap MS. Benarkah MS tersandera? Bukan apa-apa. UU ITE pada kenyataannya memang kerap digunakan untuk hal-hal semacam ini.
Isu ini bermula dari pemanggilan MS ke kantor KPI, Jakarta Pusat pada Selasa-Rabu, 7-8 September kemarin. Dalam dua pertemuan itu MS diminta datang tanpa kuasa hukum. Pada hari Rabu, MS dan para terlapor dipertemukan di sebuah ruangan.
Dalam kesempatan itu MS disodori surat perdamaian, di mana isinya juga menyangkut pencabutan perkara. Mehbob menduga pertemuan ini sengaja diinisiasi oleh pihak KPI dengan tujuan menyelamatkan nama baik lembaga.
"MS tidak mau. Mereka melakukan cara-cara tidak benar lah. Dan isi perdamaiannya itu seolah-olah tidak ada kejadian seperti itu dan MS disuruh klarifikasi segala," tutur Mehbob, kuasa hukum MS, kepada VOI, Jumat, 10 September.
"Saya kira mungkin ada salah satu oknum komisioner KPI, yang kita tidak tahu siapa. Walaupun pada pertemuan itu tidak ada komisioner KPI tapi itu di lingkungan KPI. Mustahil kalau komisioner KPI tidak tahu."
Tegar Putuhena, kuasa hukum terlapor berinisial RT dan EO membenarkan pertemuan. Ia mengatakan kliennya datang dengan posisi sama: atas panggilan KPI dan tanpa kuasa hukum. Menurut Tegar dalam panggilan telepon, kliennya diberitahu ada upaya damai.
"Ketemu siapa di sana, agenda apa di sana, diundang oleh siapa, kita enggak tahu. Kita sama sekali enggak tahu. Tapi yang pasti setelah dia ketemu, kemudian terlapor, salah satu terlapor itu ada yang menelepon dari KPI. Itu gue juga enggak tahu siapa," tutur Tegar, dihubungi VOI, Jumat, 10 September.
"Intinya bilang, 'Ini ada proses mau bicara, nih, fasilitasi mau bicara sama kalian.' Itu di-share ke semua terlapor. Mereka saling komunikasi. Sampailah ke saya dari klien saya, yang dua orang itu ... Saya bilang kalau niatnya baik mau damai ya enggak apa-apa. Tanpa penasihat hukum. Yang penting posisinya sama-sama tanpa penasihat hukum."
Tegar mengatakan pihaknya menyambut wacana mediasi jalan damai itu. Pihaknya bahkan telah menyusun syarat-syarat yang perlu dipenuhi MS. Pun sebaliknya. Tegar menyatakan terbuka pada diskusi soal syarat damai. "Kalau opsi damai, maka jelaskan syaratnya. Itu proses yang biasa."
Kami mencoba menghubungi Ketua KPI Agung Suprio dan Komisioner Nuning Rodiyah. Telepon kami tak diangkat. Pesan WhatsApp kami berakhir dengan dua centang biru.
Benarkah MS terintimidasi?
Kuasa hukum MS, Mehbob menjelaskan pihaknya telah meminta pendampingan pada Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Posisi kliennya tengah berada di bawa intimidasi, kata Mehbob. Termasuk soal pelaporan UU ITE atas pencemaran nama baik yang dilakukan pihak terlapor.
Meski begitu Mehbob mengaku tak khawatir karena apa yang ditulis MS, menurut Mehbob adalah fakta hukum. Mehbob juga optimis pendampingan LPSK dan Komnas HAM akan melindungi kliennya secara hukum.
"Intimidasi dengan dia mau melaporkan balik segala. Itu kan bagian dari intimidasi. Kalau MS tidak mencabut akan dilaporkan balik. Kami dari tim tidak khawatir karena apa yang MS tulis itu adalah apa yang dia alami dan dia rasain dan itu adalah bagian dari fakta hukum kan ... Itu intimidasi dan membuat kriminalisasi kan," kata Mehbob.
"Tapi kan dengan nanti mudah-mudahan LPSK sudah memberikan perlindungan, otomatis menurut UU 31 tentang Perlindungan Saksi Korban dan Pasal 10 secara tegas itu tidak bisa MS dituntut secara hukum sampai perkaranya selesai dan memunyai kekuatan hukum tetap," tambahnya.
Tegar Putuhena, kuasa hukum dua terlapor, RT dan EO membantah mengintimidasi MS lewat kasus UU ITE. Menurutnya dalam perspektif hukum kasus dugaan pencemaran nama baik oleh MS berjalan di luar konteks dugaan perundungan dan pelecehan seksual yang dialami MS.
"Sekarang proses di Polda (UU ITE). Jadi memahaminya jangan dalam konteks itu ... Apa yang saya lakukan dan teman-teman ini niatnya untuk membangun prinsip bersama adalah melawan bullying tidak boleh dengan bullying. Lagipula ini peristiwa belum jelas," Tegar Putuhena.
"Karena sudah meluas di publik, semua dampaknya adalah cyberbullying, stigma negatif yang dilekatkan tidak hanya pada pelapor tapi juga keluarga. Kita pikir ini bisa berjalan linear. Keputusan kami melakukan pelaporan dalam rangka itu ... Secara mekanisme penegakan hukum sebenarnya yang dilaporkan tidak terkait dengan pelecehan seksual," tambahnya.
UU ITE alat transaksi kasus
Di luar kebenaran narasi yang disampaikan pihak-pihak terkait, UU ITE nyatanya memang kerap digunakan untuk transaksi kasus. Modusnya, seseorang yang dilaporkan atas sebuah perkara akan mencari celah menjerat pelapornya dengan UU ITE. Jika ditemukan, celah itu akan digunakan untuk menyandera dan bertransaksi kasus.
Hal ini diungkapkan Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo. Seorang korban kerap kali jadi korban kedua kali, di mana ketika melapor ke polisi, ia malah dilaporkan lagi oleh terduga pelaku: revictimization. "Ini makanya, korban atau pengacaranya ini harus lebih waspada. UU ITE ini sudah banyak jatuh korban," katanya kepada VOI, Rabu, 8 September.
"Karena itu mestinya dia cepat segera bertindak. Kalau misalnya laporan kepolisian sudah dilakukan, ya misalnya membutuhkan perlindungan LPSK, ya segera ke LPSK," tambah Hasto. Hasto juga mendorong agar kepolisian sebagai penegak hukum "mengedepankan semangat perspektif korban yang lebih baik. Jadi keberpihakan terhadap korban lebih tinggi."
Penjelasan Hasto sama dengan gambaran yang dipaparkan Ketua Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) M Arsyad. Dihubungi VOI, Selasa, 7 September, Arsyad menjelaskan sejumlah alasan paling umum kenapa orang menggunakan UU ITE untuk memidanakan pihak lain. Barter atau transaksi perkara jadi yang paling banyak. Dalam konteks ini polisi jadi pihak yang juga paling banyak dikaitkan dengan penyalahgunaan UU ITE.
"Kenapa kepolisian kami masukkan sebagai klaster ketiga pengguna UU ITE, merekalah yang jadi jembatan dari kedua kluster, yaitu pemodal maupun pejabat publik ... Negosiasi ini yang berjalan dalam proses penyelidikan ataupun di penyidikan. Contohnya, 'kamu mencabut laporan kamu maka kasus pencemaran kamu juga dicabut. Kalian sama-sama hidup tenang, maka tidak ada yang dipenjara,'" jelas Arsyad.
Alasan kedua adalah sebagai shock therapy. Ini banyak digunakan pejabat maupun perusahaan. "Dia minta korban UU ITE harus minta maaf di media massa dan sebagainya. Ini untuk memberikan warning, ketika kamu mengganggu saya atau mengkritik saya maka saya akan memenjarakan kamu seperti dia," tutur Arsyad.
"Yang ketiga pasti adalah pembungkaman, bagaimana supaya orang itu diam dan tidak bersuara. Salah satu jalan paling efektif adalah dengan mengasuskan mereka." Kami bertanya pada Denny apakah salah satu alasan di atas juga yang mendasari pelaporan terhadap MS dan sejumlah warganet dalam kasus dugaan pencemaran nama baik klliennya.
"Kami melaporkan peristiwa faktual saja. Peristiwa faktual itu apa, ya nanti diukur unsur-unsur pidananya. Memenuhi unsur yang mana pidananya. Bagi kami tidak ada barter. Tidak ada pembungkaman. Karena buat apa membungkam."
"Pelapor ini sudah lebih menang kok di media massa. Mau bungkam apa. Kami tidak ingin membungkam kayak begitu. Shock therapy enggak ada juga. Pidana itu kalau seseorang melakukan perbuatan, memenuhi unsur, ya itu harusnya diproses. Itu saja," kata Denny.
*Baca Informasi lain soal PELECEHAN SEKSUAL atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Pedofil Bukan Bisnis yang Bagus: Di Balik Cancel Culture Saipul Jamil
- Jika Kebakaran Lapas Tangerang Tak Bikin Yasonna Mundur, Entah Apa Lagi Bukti Kegagalannya
- Terduga Pelaku Pelecehan di KPI Akan Lapor Balik MS: Tolong Bedakan Ceng-cengan dengan Perundungan
- Sekali Baca Memahami Masalah Data Pribadi: Penjelasan, Risiko hingga Siapa yang Menguasainya?