Empat Pekan Memantau Demo RUU PKS Meyakinkan Kami "Selasaan" akan Jadi Panggung Aspirasi Besar ke Depan

JAKARTA - Aksi Selasaan memasuki pekan keempatnya. Selama itu juga kami memantau pergerakan ini. Di pekan pertama pada 8 Juni, bahkan dalam aksi terbaru tanggal 28 Juli kemarin. Memang, masih pekan keempat. Tapi insting kami menangkap aksi ini akan jadi panggung aspirasi besar ke depan. Setidaknya hingga Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual (RUU PKS) disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sesuai jargon aksi ini: Setiap Selasa, saban Selasa, dan selalu Selasa.

Sejak DPR menghapus RUU PKS dari daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas), gelombang protes membesar. Apalagi ketika Komisi VIII DPR mengatakan alasan penghapusan beleid tersebut adalah karena terlalu sulit. Gerakan yang mulanya ramai di media sosial kemudian berpindah ke dimensi nyata. Orang-orang berunjuk rasa di depan pintu gerbang DPR.

[Klik untuk Menambah Rasa]

Selasa, 8 Juni, kami berada di antara barisan demonstran. Matahari pukul empat sore mulai menguning, menyisakan panas yang menyengat di udara. Para demonstran berasal dari begitu banyak kalangan. Keresahan mereka sama: ingin negara membentuk landasan hukum untuk melindungi warganya dari tindak kekerasan seksual.

Para demonstran berbaris teratur di atas tanda-tanda silang yang telah dipersiapkan demi memastikan jarak fisik tetap terjaga di tengah pandemi COVID-19. Perlahan kami membelah barisan-barisan itu, hingga menemukan barisan yang membawa rangkaian poster bertulis huruf S, U, L, I, T plus tanda tanya (?). Pesannya jelas. Ini adalah sindiran untuk pernyataan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang tentang alasan penghapusan RUU PKS dari Prolegnas.

Demonstran membentuk barisan (Saddam/VOI)

Didominasi perempuan, para peserta aksi nyatanya berdatangan dari berbagai daerah. Kami menemui beberapa di antaranya. Ada yang berasal dari Purwakarta, Karawang, hingga Bandung. Yayu, salah satunya, menjelaskan alasannya turut dalam barisan pemrotes hari itu.

"Ini kan kita sudah di-PHP-in selama enam tahun, ya. Dari 2014. Dan kita sudah enggak bisa nunggu lama lagi. Mau sampai kapan kita terus digantung? Sementara, korban-korban terus berjatuhan bertambah banyak," kata Yayu, kepada VOI.

Yayu adalah mahasiswi yang tergabung dalam Jaringan Setara, sebuah kelompok perempuan yang aktif melakukan pergerakan di seputar isu pelecehan seksual di kampus. Yayu mengungkap maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang makin mengkhawatirkan. Begitu banyak kasus yang tak terungkap.

RUU PKS di matanya adalah harapan menghapus sisi gelap itu. Tak hanya dari segi penghakiman hukum terhadap pelaku, tapi juga ruang bagi pemulihan korban, serta bagaimana membangun sistem pendukung di sekitar korban. "Sisi lain dari dunia kampus itu lumayan gelap. Misalnya, pelecehan ketika bimbingan skripsi, pelecehan oleh dosen, bahkan pelecehan seksual oleh sesama mahasiswa," kata Yayu.

Koordinator Lapangan Gerak Perampuan, Lini Zurlia, tengah beroperasi di depan massa

Koordinator Lapangan Gerak Perempuan Lini Zurlia yang juga kami temui di lokasi melengkapi pandangan Yayu. Lini mengatakan, RUU PKS secara ideal dapat mencakup banyak persoalan terkait kekerasan seksual, mulai dari pencegahan, penanganan, hingga pemulihan korban. "Sehingga memang RUU PKS ini semuanya penting," kata Lini kepada VOI.

Lini juga mengkritik penghapusan RUU PKS dari Prolegnas sebagai absennya kehadiran politis legislatif maupun eksekutif. "Ketika ini dicabut, belum mendengar pernyataan dari menteri (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) apakah keberatan atau ada upaya untuk mempertahankan, saya belum dengar itu. Adem ayem aja," katanya.

Panggung aspirasi besar

Memantau pergerakan Selasaan hingga pekan keempat memancing insting kami bahwa aksi ini akan jadi panggung aspirasi besar ke depan. Lini mengatakan, kelompok pemrotes memiliki tekad besar untuk konsisten bergerak lewat Selasaan hingga beleid disahkan menjadi Undang-Undang (UU).

Alasan utamanya sederhana. "Supaya mereka (DPR) merasa kinerjanya terus berada dalam pengawasan," kata Lini.

Kamis, 28 Juli kami kembali ke Gedung DPR. Di sana, kami menemui Sabini, Dinamisator Gerakan Perempuan. Sabini mengatakan, gerakan mendorong pengesahan RUU PKS akan dipadukan dengan gerakan yang merujuk pengawasan terhadap RUU lain, termasuk Omnibus Law dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Gerakan Perempuan, bersama Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) telah melakukan audiensi dengan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pada 16 Juli lalu. Dalam audiensi itu, mereka membahas segala RUU yang dianggap bermasalah, baik secara progres maupun substansi.

"Salah satu anggota Gerak Perampuan, namanya Lini, bersama Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos, melakukan audiensi, 16 Juli untuk membicarakan beberapa hal, termasuk RUU PKS dan Omnibus Law dan RUU PRT. Yang tetap dibahas yang Omnibus Law. RUU PRT belum dibahas lagi. Nanti akan dijadikan usul inisiatif DPR di paripurna. Tapi belum ada perkembangan," Sabini.

Terkait RUU PKS, keputusan DPR tak goyang. Pembahasannya akan tetap dihapus dan dimasukkan ke dalam prioritas Prolegnas tahun 2021. "Janjinya akan dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2021, yang juga belum ada indikasinya. Dan baru bisa tahu nanti Oktober. Pada bulan ini baru akan ditentukan apakah masuk Prolegnas Prioritas," Sabini menerangkan.

Paripurna DPR (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Karenanya, seperti yang dikatakan Lini. Aksi Selasaan akan terus digelar hingga RUU PKS disahkan. Menurut Sabini, sejak 2014 Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Berdasar situasi itu, perumusan UU ini kemudian dibentuk untuk mengakomodir kepentingan masyarakat luas di dalam ranah kekerasan seksual.

"Di 2015 sudah mulai dirumuskan UU-nya dan itu berdasarkan dua hal. Pertama, suara korban langsung. Butuhnya apa, kekurangannya dalam hukum kita apa, kekurangannya dalam pelaksanaannya oleh aparat apa saja. Dan yang kedua, oleh pendamping korban kekerasan seksual. Apa kesulitan pendamping korban kekerasan seksual ketika sedang melakukan pemulihan kepada penyintas," kata Sabini.

Perspektif menarik disampaikan Sabini. Kekerasan seksual nyatanya turut menimbulkan kerugian besar bagi negara. "Karena perempuan punya porsi yang besar dalam tenaga kerja Indonesia. Ada porsi yang besar para pekerja wanita tak dapat bekerja dengan baik, dan mendapatkan akses pemasukan yang layak persis karena mereka mengalami trauma karena kekerasan yang mereka alami."

Dengan segala perkembangan itu, aksi Selasaan rasanya akan jadi panggung aspirasi besar yang tak hanya bersuara tentang RUU PKS, perempuan, dan kekerasan seksual. Isu tenaga kerja dalam Omnibus Law, isu kesejahteraan dalam RUU PRT atau masalah-masalah lain yang memerlukan dorongan perubahan dapat disuarakan lewat gerakan ini.

Polemik soal RUU PKS ini bermula saat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI meminta Komisi VIII DPR RI mengeluarkan rancangan perundangan carry over tersebut dari Prolegnas Prioritas 2020. Komisi VIII menyetujuinya.

Tapi, kemudian Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang menyatakan pihaknya menarik RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 dengan alasan pembahasannya sulit.