Ungkap Operasi Berbagi Informasi Intelijen dengan Taliban, Jenderal Marinir AS: Mereka Tidak Membiarkan Teror Terjadi

JAKARTA - Sedikitnya 60 orang warga sipil dan 12 tentara Amerika Serikat (AS) dan sekitar 140 lainnya luka-luka, akibat dua serangan bom yang terjadi di sekitar bandara Kabul, Afghanistan Kamis kemarin.

Kelompok ISIS diduga berada di balik serangan ini. Taliban mengutuk keras aksi serangan bom di bandara Kabul, dengan menyebut akan menghentikan dengan tegas kegiatan sejenis, untuk memberikan jaminan keamanan dan perlindungan.

Menanggapi peristiwa ini, Jenderal Marinir Kenneth 'Frank' McKenzie, Komandan Komando Pusat Amerika Serikat (CENTCOM) mengatakan, ada operasi berbagi intelijen antara AS dan Taliban, terkait dengan keduanya memiliki tujuan yang sama, menyelesaikan evakuasi yang sedang berlangsung pada 31 Agustus mendatang.

"Selama kita tetap menyelaraskan tujuan bersama itu, mereka berguna untuk bekerja sama," kata McKenzie, menambahkan bahwa beberapa informasi terkait ancaman teror juga dibagikan, mengutip Sputnik Jumat 27 Agustus.

"Kami membagikan versi informasi ini (tentang ancaman teroris) dengan Taliban, sehingga mereka benar-benar melakukan pencarian. Kami pikir mereka telah menggagalkan beberapa (serangan teror)." sambungnya.

Lebih jauh McKenzie menerangakan, dia tidak memiliki informasi yang akan membuatnya percaya bahwa Taliban sengaja membiarkan serangan teror Hari Kamis terjadi di Kabul.

"Saya tidak tahu. Saya tidak berpikir ada sesuatu untuk meyakinkan saya bahwa (Taliban) membiarkannya terjadi," tutur McKenzie dalam menanggapi pertanyaan tentang potensi kepuasan Taliban dalam membiarkan serangan terjadi.

Sebagai Komandan CENTCOM, McKenzie mengatakan bahwa program berbagi intelijen telah berlangsung sejak 14 Agustus. CENTCOM sendiri merupakan komando pasukan AS yang memiliki area tugas di Timur Tengah, Mesir, Asia Tengah dan sebagian Asia Selatan.

Sebelum pernyataannya, Politico melaporkan Washington berbagi dengan Taliban daftar nama sekutu Amerika dan Afghanistan untuk diizinkan masuk ke bandara Kabul. Langkah Pemerintahan Biden ini memicu kemarahan di antara beberapa anggota parlemen AS dan pejabat militer.

Untuk diketahui, serangan bom ini terjadi saat Amerika Serikat dan negara-negara lain bekerja keras untuk mengevakuasi tentara, warga negara dan warga sipil Afghanistan yang berisiko untuk keluar dari negara itu, paling lambat 31 Agustus seperti kesepakatan dengan Taliban.

Hingga saat ini, Amerika Serikat dan sekutunya telah melakukan salah satu evakuasi udara terbesar dalam sejarah, membawa sekitar 95.700 orang, termasuk 13.400 pada Hari Rabu, menurut Gedung Putih.