Menjadi Wanita Afghanistan di Bawah Taliban
JAKARTA - Di masa pemerintahan Taliban (1996-2001), Afghanistan bagai penjara bagi kaum wanita. Taliban secara fundamentalis menerapkan hukum syariat Islam. Langkah Taliban dianggap tak lebih baik dari Mujahidin soal diskriminasi wanita. Meski angka pemerkosaan dan kawin paksa berkurang, Taliban justru mengekang hak sipil wanita, dari bersekolah hingga bekerja.
Kekangan Taliban menjadikan Afghanistan negara paling berbahaya bagi kaum wanita. Selapas Perang Soviet-Afghanistan (1979-1989), kondisi di Afghanistan jauh dari kata tenang dan damai. Perang saudara antara komandan Mujahidin terus berlangsung. Pada itu perang di antara etnis Tajik dan Pashtun jadi yang paling diingat.
Terpilihnya Burhanuddin Rabbani dari etnis Tajik sebagai pejabat sementara presiden pada 1992, kemudian presiden pada 1993 menimbulkan kecemburuan dari kelompok etnis Pasthun. Sebab, orang Pasthun dinilai lebih cocok memengang amanat memimpin Afghanistan. Kelompok Mujahidin dari etnis Pashtun membentuk kelompok fundamentalis Islam bernama Taliban pada September 1994 sebagai alat melawan.
Mereka didominasi oleh kelompok santri dari etnis Pashtun yang menginginkan pemulihan keamanan dan perdamaian berdasarkan syariat Islam sesungguhnya. Perlawanan Taliban kemudian mendapatkan dukungan dari rakyat kecil Taliban. Mereka dianggap sebagai juru selamat. Berkat itu, Afghanistan secara paripurna dikuasai oleh Taliban.
“Taliban muncul pada 1994 sebagai sebuah kelompok pasukan Mujahidin yang menyebut diri mereka sebagai pelajar sekolah agama. Pergerakan Taliban dimulai di selatan Afghanistan dan terus merangsek ke utara menuju daerah pegunungan yang dikuasai oleh Aliansi Utara."
"Pada akhir 1990-an, Taliban tidak hanya menguasai ibu kota, melainkan telah menguasai nyaris seluruh Afghanistan. Kekuatan oposisi, dikenal sebagai Aliansi Utara, hanya bisa menguasai sebagian amat kecil wilayah utara Afghanistan. Namun, sebagian besar negara di dunia tidak mengakui rezim Taliban sebagai pemerintah sah Afghanistan,” ungkap Anton Kurnia dalam buku Dari Penjara Taliban Menuju Iman (2007).
Setelah berkuasa penuh pada 1996, Taliban mulai membenahi sistem pemerintahan Afghanistan. Mereka tak melupakan tujuan awal mereka untuk membentuk rezim yang secara fundamentalis menerapkan syariat Islam. Mereka jadi rezim tak kenal kompromi dan amat ketat dalam menerapkan hukum syariat Islam.
Sebagai langkah utama, Taliban bergerak cepat melarang siaran televisi, menonton di bioskop, hingga mendengarkan musik. Disamping itu, Taliban ikut melarang peredaran minum keras hingga menghancurkan karya seni yang menggambarkan makhluk hidup. Lebih lagi, ilustrasi yang ada dalam buku pelajaran juga tak luput dilarang.
“Dokter Nazir Abdul, seorang dokter anak, menjelaskan bahwa ketika Taliban berkuasa di Kabul mereka melarang semua buku yang memiliki ilustrasi, dan membakar semua buku berilustrasi yang mereka temukan di depan umum. Petugas bersenjata Taliban dari Departemen Peningkatan Akhlak dan Pencegahan Maksiat berdiri di belakang ruang kuliah sementara kuliah berlangsung, menjaga agar para dosen tak menggambar diagram anatomi di papan tulis,” ungkap Greg Mortenson dan David Oliver Relin dalam buku Three Cup of Tea (2006).
Diskriminasi terhadap kaum wanita
Hukum syariat Islam yang diterapkan secara fundamentalis oleh Taliban masuk ke semua lini, termasuk pada hak-hak sipil wanita. Meski ketika Taliban menggantikan Mujahidin pemerkosaan dan kawin paksa berkurang, kaum wanita nyatanya hidup bak di penjara bernama Afghanistan.
Mereka dikekang. Kaum wanita dilarang bersekolah, lapangan kerjanya dibatasi, dan harus menutupi tubuh dengan burka di tempat umum. Segala gerak-gerik kaum wanita Afghanistan itu diawasi oleh Polisi Keagamaan Taliban. Mereka berpatroli di jalan-jalan untuk mengawasi wanita Afghanistan yang tak menggunakan pakaian islami.
Pun kaum wanita dilarang menggunakan kaus kaki putih karena dianggap secara seksual dapat bersifat provokatif. Jika wanita berjalan terlalu cepat atau berbicara terlalu keras mereka dapat dihukum, dipukul.
“Wanita dinyatakan bertanggung jawab mengurus rumah tangganya, dan suami, saudara atau ayahnya harus mencukupi kebutuhan dasarnya. Kebiasaan para wanita Afghan mencuci pakaian di tepi sungai dilarang oleh Taliban. Yang melanggar akan dibawa ke rumahnya dan suaminya dihukum. Pasien wanita diharuskan pergi ke dokter wanita. Jika wanita harus diperiksa dokter lelaki, muhrim wanita itu harus menemaninya selama pemeriksaan dan baik pasien atau dokternya harus dipisahkan tabir.”
“Dokter lelaki tidak diperkenankan menyentuh atau melihat bagian tubuh pasien wanitanya, kecuali bagian-bagian yang sakit. Dokter lelaki juga tidak diperkenankan memasuki ruangan pasien wanita, kecuali keadaan mengharuskannya. Dokter wanita dan lelaki tidak diperkenankan duduk bersama atau bercakap-cakap. Jika muncul kebutuhan untuk berdiskusi, keduanya harus dipisahkan tabir,” ujar Taufik Adnan Amal dalam buku Politik Syariat Islam: Dari Nigeria hingga Indonesia (2004).
Ketentuan-ketentuan itu sengaja dibentuk supaya Afghanistan tak jatuh dalam 'kubangan kejahatan dan pelanggaran' seperti yang terjadi di negara-negara Barat dengan emansipasi wanitanya. Padahal aturan itu begitu menyengsarakan kaum wanita Afghanistan. Di Ibu Kota Afghanistan, Kabul sendiri tercatat ada 40 ribu janda korban perang Afghanistan jatuh ke dalam kubangan kemiskinan.
Ancaman kemiskinan berupa kelaparan itu membuat kaum wanita tak ada pilihan lain: antara bertahan hidup atau bunuh diri. Mereka yang bertahan hidup memilih mengemis dan menjual semua harta benda milik mereka. Yang paling parah, mereka menjual diri di pelacuran demi kelangsungan hidup. Pemandangan sengsaranya kaum wanita di Afghanistan setidaknya masih berlanjut hingga hari ini, sekalipun Taliban telah lengser dari kursi pemerintahan Afghanistan sejak 2001.
“Bukan saja berbahaya bagi perempuan untuk pergi ke sekolah, di banyak wilayah negara saya, kaum perempuan tak bisa meninggalkan rumah kecuali ditemani oleh kerabat lelaki atau muhrim. Perempuan terus mengenakan burka. Bahkan di Kabul. Pada dasarnya, posisi perempuan saat ini sama saja dengan saat berada di bawah kekuasaan Taliban Pada beberapa aspek, situasi bahkan lebih buruk lagi, dengan lebih tingginya tingkat bunuh diri dan penculikan, serta kekebalan hukum total bagi pelaku kasus pemerkosaan,” tutup Malalai Joya dalam buku A Women Among Warlords (2011).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH DUNIA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.