Awas, Dokter Bilang Obesitas bisa Sebabkan Long COVID
JAKARTA - Sebuah klinik yang menangani pasien Long COVID di Ras Al Khaimah (RAK), Uni Emirat Arab (UEA) mengungkapkan, sebanyak 62 persen pasien mereka merupakan orang-orang yang mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.
Angka ini diperoleh dari penelitian pada gejala dan kondisi kesehatan sekitar 3.277 pasien, pada rentang waktu antara Maret hingga Desember tahun lalu, seperti mengutip The National News Selasa, 12 Agustus.
Data studi kesehatan dan gaya hidup RAK Hospital menambah bukti, pasien yang kelebihan berat badan dan mereka yang memiliki masalah kesehatan, lebih mungkin menderita komplikasi terkait Long COVID.
Peneliti medis juga menemukan, 26 persen dari mereka yang memerlukan perawatan di rumah sakit, tidak aktif dan menjalani gaya hidup yang tidak banyak bergerak, sementara 68 persen memiliki setidaknya satu penyakit kronis tambahan.
Ini membuat program klinik untuk mereka yang pulih dari COVID-19 mencakup saran tentang manajemen berat badan dan cara membalikkan obesitas.
"Obesitas adalah salah satu faktor risiko utama yang menyebabkan komplikasi parah pada COVID-19,” kata Prof Adrian Kennedy, Chief Wellness Officer di Rumah Sakit RAK.
"Mungkin tidak ada kondisi medis tunggal yang menyebabkan lebih banyak komplikasi dan dikaitkan dengan morbiditas, serta mortalitas yang lebih besar daripada obesitas. Berkali-kali telah dikemukakan, orang dengan berat badan berlebih memiliki risiko lebih besar terkena penyakit parah COVID-19 dan komplikasinya," lanjutnya.
Fasilitas program rehabilitasi COVID-19 diluncurkan pada Maret 2021, bekerja sama dengan ARISE UAE, Aliansi Sektor Swasta untuk Masyarakat Tahan Bencana, jaringan entitas sektor swasta yang dipimpin oleh Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana.
Ini telah menjadi garis hidup bagi sebagian orang, yang telah berjuang dengan efek samping dari infeksi COVID-19. Sementara, obesitas telah dikaitkan dengan sejumlah penyakit kronis lainnya, termasuk penyakit jantung, diabetes, osteoarthritis, asma dan kesehatan mental.
Untuk diketahui, ada lebih dari 200 gejala telah dikaitkan dengan Long COVID, sehingga sulit untuk didiagnosis secara medis sebagai kondisi tertentu. Tanda-tanda khas termasuk sesak napas, kebingungan dan kelelahan.
Selain itu, turut dilaporkan pula gejala nyeri dada, kecemasan, depresi, nyeri otot, demam dan kehilangan penciuman dan rasa yang terus-menerus. Seluru gejala ini bisa berlangsung hingga sembilan bulan.
Meski para ahli belum sepenuhnya memahami apa penyebab Long COVID, atau mengapa hal itu terjadi pada beberapa orang dan bukan pada orang lain, hal itu dipahami terkait dengan respons imun alami tubuh.
Dalam beberapa kasus, infeksi COVID-19 menyebabkan sistem kekebalan tubuh melawan virus dan menyerang jaringan tubuh sendiri secara bersamaan.
Teori lain menyebutkan, fragmen virus tidak aktif, kemudian menyala kembali selama masa pemulihan, seperti yang terjadi pada beberapa virus lain, misalnya virus herpes.
Baca juga:
- UNESCO Hapus Taman Nasional Salonga dari Daftar 'Bahaya' Warisan Dunia
- Peneliti Inggris Terkejut saat Ungkap Ritual Pra-perkawinan Hiu Basking
- Batal Beli Misil Anti-kapal Buatan AS untuk Jet Tempur F-15, Jepang Bikin Rudal Sendiri
- Karyawannya Gunakan Roti Hamburger dan Tortilla Kedaluwarsa, McDonald's Korea Minta Maaf
Terpisah, Dr Raza Siddiqui, direktur eksekutif Rumah Sakit RAK mengatakan, pengalaman mereka dengan pasien yang ditemukan kelebihan berat badan, secara dramatis meningkatkan risiko masuk rumah sakit selama infeksi.
"Obesitas terkait dengan gangguan fungsi kekebalan dan dapat melipatgandakan risiko rawat inap karena infeksi. Orang gemuk dengan gejala Long COVID, mengalami masa pemulihan yang lebih lama dan sulit untuk mengelola kondisi kronisnya," ungkap Raza.
"Kabar baiknya adalah, bimbingan dan teknik yang tepat dapat membantu mengurangi masalah, membuat transisi seseorang ke kehidupan normal jauh lebih cepat," pungkasnya.