Miris! Imbas PPKM Darurat, Kerugian Pusat Perbelanjaan Sentuh Rp5 Triliun per Bulan
JAKARTA - Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia memproyeksi penerapan PPKM Darurat berpotensi menggerus pendapatan mal sebanyak Rp5 triliun per bulan. Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja menjelaskan kerugian tersebut bersumber dari hilangnya sewa dan service charge para penyewa pusat belanja yang terpaksa ditutup kegiatan usahanya.
Saat ini, kata Alphonzus, APPBI memiliki sekitar 350 anggota di seluruh Indonesia. Adapun sebanyak 250 anggota terdampak paling berat akibat penerapan PPKM Darurat di wilayah Jawa-Bali.
"Jadi kalau para peritel ini meminta kebijakan ataupun tidak membayar sama kali, kita kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp5 triliun," katanya dalam diskusi virtual, Kamis, 22 Juli.
Lebih lanjut, Alphonzus mengatakan rincian kerugian penutupan operasional pusat belanja Jawa-Bali mendominasi sampai Rp3,5 triliun. Sementara, di luar wilayah ini kerugian pembatasan operasional menyentuh Rp1,5 triliun.
Karena itu, Alphonzus mengatakan bahwa kerugian bakal membesar menyesuaikan pelaksanaan kebijakan PPKM Darurat yang dilakukan pemerintah ke depan.
"Kalau PPKM-nya dua bulan ya dikalikan dua saja, jadi (kerugian) Jawa-Bali menjadi Rp7 triliun. Sementara untuk seluruh Indonesia ada potensi kehilangan kurang lebih Rp10 triliun," tuturnya.
Baca juga:
- Bantu Tangani Pandemi, Pengusaha Ritel Donasikan Tabung Oksigen ke Pemprov DKI Jakarta, Diterima Langsung oleh Anak Buah Anies
- Kabar Buruk dari Pengusaha Ritel Non-pangan, Anak Buah Konglomerat Mochtar Riady Ini Sebut 100 Persen Karyawan Dirumahkan karena PPKM Darurat
- Serius Besarkan IKEA dengan Cara Tutup Giant, Hero Supermarket Kini Buka Usaha Mebel
- Kabar Buruk dari Pengusaha Ritel Non-pangan, Anak Buah Konglomerat Mochtar Riady Ini Sebut 100 Persen Karyawan Dirumahkan karena PPKM Darurat
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Aprindo Roy Mandey mengatakan penutupan pasar swalayan seperti mal, supermarket dan hypermarket akan berdampak multiplier effect yang sangat besar.
Kata Roy, salah satu dampaknya adalah akan membuat sektor UMKM yang menyuplai ritel mati. Belum lagi pekerja di sektor informal yang dekat dengan kegiatan ritel yang bakal terganggu ekonominya.
Bahkan, lanjut Roy, sektor industri seperti makanan-minuman juga akan kebingungan menjual produknya.
"Kalau ritel mati apakah bisa hidup? Mau jual ke mana (produknya)? Kemudian ada outsourcing cleaning service, maintenance dan lainnya itu orang-orang yang harian gajinya itu akan bermasalah daya beli," ujarnya.