JAKARTA - Pengusaha pusat perbelanjaan yang tergabung di dalam Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) meminta pemerintah untuk memberikan izin pusat perbelanjaan atau mal beroperasi. Sebab, selama ini pusat perbelanjaan sudah menjalankan protokol kesehatan dengan konsisten dan terbukti tak menjadi klaster penyebaran COVID-19.
Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja mengatakan bahwa pihaknya menjamin bahwa pusat perbelanjaan atau mal bukan klaster penyebaran COVID-19. Sebab, kata dia, selama ini pusat perbelanjaan memberlakukan pengecekan berlapis kepada setiap pengunjung.
"Karena pusat perbelanjaan selama ini dapat terbukti punya kemampuan dan punya keseriusan di dalam penerapan protokol kesehatan. Ini yang selama ini kami sampaikan kepada pemerintah. Tidak ada (yang terpapar COVID-19 di pusat perbelanjaan)," tuturnya dalam diskusi virtual, Selasa, 27 Juli.
Alphonzus mengungkap alasan mengapa pusat perbelanjaan atau mal diklaim tak menjadi klaster penyebaran COVID-19. Hal ini karena di pusat perbelanjaan memiliki standar operasional prosedur (SOP) khusus untuk tindakan preventif.
"Jadi setiap pusat perberlanjaan itu akan melakukan tes terhadap karyawan-karyawannya secara periodik secara berkala, ada yang dua minggu sekali, ada yang satu bulan sekali, tergantung tingkat risikonya sejauh mana," katanya.
Kata Alphonzus, dengan tes rutin ini secara berkala akan cepat diketahui jika ada seseorang yang positif. Kemudian, ada peraturan yang menyatakan bahwa karyawan tidak boleh masuk jika sakit.
"Kalau sakit meskipun itu bukan gejala COVID-19, sakit pun tidak boleh masuk. Ini merupakan kontrol-kontrol yang dilakukan pusat perbelanjaan, sehingga selama ini pusat berbelanja tidak menjadi klaster," ujarnya.
Tak hanya itu, kata Alphonzus, pengecekan kondisi karyawan secara berkala juga harus dilakukan oleh peritel yang menyewa di pusat perbelanjaan. Menurut dia, tindakannya bukan korektif saja tetapi secara preventif. Contoh misalnya melakukan disinfeksi secara rutin terhadap seluruh ruangan yang ada dan dilakukan secara konsisten.
Lebih lanjut kata Alphonzus, pusat perbelanjaan juga memperhatikan betul karyawannya yang tinggal di zona merah. Karyawan-karyawan yang berada di zona merah diberikan perhatian khusus dengan memberi vitamin dan sebagainya.
"Sepertinya sudah lengkap apa yang sudah dilakukan pusat perbelanjaan. Oleh karena itu kami selalu berani menyatakan kepada pemerintah untuk pusat perbelanjaan tetap beroperasi. Tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan tadi," katanya.
Penutupan pusat perbelanjaan berdampak besar
Kata Alphonzus, pendapatan pusat perbelanjaan yang berpotensi hilang adalah sebesar Rp5 triliun untuk satu bulan. Kerugian ini bersumber dari hilangnya uang sewa dan service charge. Jika PPKM terus berlanjut kerugian yang ditimbulkan akan semakin besar.
BACA JUGA:
"Jadi satu bulan itu Rp5 triliun dari 350 pusat perbelanjaan yang ada di Indonesia. Jadi kalau pusat perbelanjaan ditutup dua bulan berarti potensi kehilangan sebesar Rp10 triliun itu adalah potensi dari pendapatan," ujarnya.
Sementara, kata Alphonzus, kerugian yang dialami penyewa ritel di pusat perbelanjaan jauh lebih besar. Sebab, pendapatan nol karena pusat perbelanjaan tidak boleh beroperasi.
"Sebetulnya yang jauh lebih besar tentunya adalah penjualan yang terjadi di pusat perbelanjaan. Jadi kalau kita bicara masalah pendapatan penjualan tentunya itu nilainya lebih besar lagi. Selama ditutup tidak ada penjualan, jadi kalau itu terjadi itu yang menjadi masalah adalah penjualannya menjadi nol," tuturnya.
Tak hanya itu, kata Alphonzus, penutupan pusat perbelanjaan juga berdampak pada usaha mikro dan kecil di sekitar pusat perbelanjaan yang penghasilannya bersumber dari para pekerja pusat perbelanjaan.
"Jadi sektor-sektor usaha mikro kecil ini itu adalah tempat kost, warung, kemudian ojek yang mengantar karyawan, kemudian parkiran misalnya parkir liar dan sebagainya. Usaha mereka praktis terhenti kalau pusat perbelanjaannya tutup," katanya.
Karena itu, kata Alphonzus, seharusnya ini menjadi perhatian pemerintah untuk memberikan izin pusat perbelanjaan atau mal dapat kembali beroperasi. Apalagi selama ini pusat perbelanjaan sudah menjalankan protokol kesehatan COVID-19 dengan sangat ketat dan disiplin.
"Pusat perbelanjaan relatif sebetulnya punya kemampuan untuk menjaga itu. Karena di pusat perbelanjaan itu protokol kesehatannya berlaku dua lapis. Protokol kesehatan yang diberlakukan oleh pusat perbelanjaan maupun pengelola, dan juga protokol kesehatan yang dilakukan oleh toko-toko," ujarnya.