Narasi 'Pandemi Terkendali' dari Pemerintah adalah Hoaks Paling Berbahaya

JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan terus mengklaim situasi pandemi COVID-19 terkendali. Di sisi lain, data dan fakta menunjukkan sebaliknya. Bisakah ini disebut hoaks? Jika iya, maka ini adalah hoaks paling berbahaya.

Kemarin, dalam konferensi pers daring, Luhut menepis anggapan yang menyebut bahwa situasi pandemi COVID-19 di Indonesia tak terkendali. Luhut juga menantang pihak-pihak yang berseberangan untuk menemuinya. "Nanti saya tunjukkan ke mukanya bahwa kita terkendali," kata Luhut.

Seperti anak buahnya hari ini. Sebelumnya Jokowi yang menyampaikan klaim keberhasilan pemerintah menghadapi pandemi. Kala itu, Januari, Jokowi menyinggung dua krisis yang disebabkan pandemi: krisis ekonomi dan kesehatan. Dua krisis itu, kata Jokowi berhasil dikendalikan dengan baik.

"Kami bersyukur Indonesia termasuk negara yang bisa mengendalikan dua krisis tersebut dengan baik," kata Jokowi dalam acara Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Persekutuan Gereja-gereja (PGI) di Indonesia dalam kanal YouTube, Yakoma PGI, Senin, 25 Januari.

Apa benar terkendali?

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Pada Minggu, 11 Juli, Indonesia catat 1.007 kematian akibat COVID-19. Angka itu jadi rekor kematian tertinggi nomor dua di dunia. Indonesia salip India. Beberapa hari sebelumnya, Jumat, 9 Juli, Indonesia juga memecahkan rekor kasus harian COVID-19 yang sebelumnya dipegang India.

Hari itu Indonesia mencatat 38.391 kasus positif. Angka tersebut jauh di atas India yang mencatat 34.443 satu hari sebelumnya, Kamis, 8 Juli. Data terbaru yang dikutip dari Satgas COVID-19, Selasa, 13 Juli menunjukkan Indonesia memecahkan rekornya sendiri dengan 47.899 kasus positif harian.

Dengan begitu, total kasus positif COVID-19 di Tanah Air mencapai angka 2.615.528. Dari total kasus tersebut, 68.219 di antaranya meninggal dunia. Apa rekor-rekor penambahan kasus ini pertanda baik dari berjalannya testing dan tracing? Sayangnya tak tampak begitu.

Kita lihat data pertumbuhan kasus dan variabel-variabel yang terkait, seperti jumlah spesimen yang diperiksa serta test positivity rate (TPR) dalam dua pekan ke belakang, tepatnya sejak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada 3 Juli hingga 13 Juli.

Pada 3 Juli, yakni hari pertama PPKM Darurat, tercatat 14.138 kasus baru dari 110.983 pemeriksaan. Dari angka itu didapatkan TPR 25,2 persen. Sementara, pada 13 Juli, sebagaimana dipaparkan di atas, ditemukan 47.899 kasus positif baru dari 159.354 pemeriksaan. TPR yang tercatat, 30 persen.

TPR tumbuh sekitar 5 persen. Sementara kasus meninggal naik dua kali lipat. Pada 3 Juli, angka kasus meninggal harian tercatat 493 jiwa. Di 13 Juli, otoritas catat 864 orang meninggal karena COVID-19. Tercatat dalam data sudah 34 provinsi dan 510 kabupaten/kota yang terjangkit virus corona.

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Lonjakan kasus, sebagaimana dipaparkan di atas berdampak pada kolapsnya sistem kesehatan. Rumah sakit tak lagi mampu menampung pasien COVID-19. Tenaga kesehatan berguguran. Di tengah kekacauan itu, giliran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberi narasi 'menenangkan'.

Saat itu Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Siti Nadia Tarmizi merespons pertanyaan Tempo tentang fasilitas kesehatan yang dianggap kolaps.

"Kolaps tidak. Tapi overcapacity, itu iya. Karena jumlah pasien yang sangat banyak dan dalam waktu bersamaan," tutur Nadia.

Jumat, 9 Juli, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut rumah sakit telah berada di fase functional collapse atau kolaps secara fungsional karena banyak tenaga kesehatan terjangkit COVID-19, bahkan meninggal dunia. Rumah sakit juga mengalami kekurangan obat dan alat kesehatan.

"Kalau saya bicara sebagai orang yang bekerja dalam kebencanaan, kondisi yang ada saat ini pada rumah sakit dan tenaga kesehatan adalah functional collapse. Kita tidak mengalami structure collapse melainkan functional. Perlu ada upaya yang dilakukan, ini baru permasalahan di hilir," kata Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi.

Tak terkendali sejak awal

Presiden Joko Widodo (Instagram/@jokowi)

Pernyataan Jokowi pada Januari 2021 yang menyebut pemerintahannya berhasil menangani pandemi beserta krisisnya juga dipertanyakan. Adalah Ketua IDI Slamet Budiarto yang sejak awal mempertanyakan itu. Ia mengaku bingung pernyataan Jokowi didasari indikator apa.

"Saya tidak paham Pak Jokowi menyatakan begitu. Mungkin dari sisi ekonomi. Saya juga tidak tahu ekonomi seperti apa. Yang saya tahu dari sisi kesehatan," kata Slamet, ditulis Kompas.com.

Pandemi COVID-19 di Indonesia tak pernah dalam situasi terkendali. Bahkan pada bulan-bulan kemarin, ketika kita pikir situasi membaik, kita sejatinya tengah berada di posisi silence outbreak. Pandemi COVID-19 di Indonesia sejak awal tak terkendali. Yang kita alami hari ini adalah bayarannya.

Banyak yang menganggap ledakan kasus hari ini sebagai dampak dari pergerakan manusia di musim Lebaran. Mungkin saja. Versi lain menyebut varian baru COVID-19 Delta jadi biang kerok ledakan kasus. Bisa jadi. Tapi ada masalah lain yang lebih gawat.

Sebagaimana dijelaskan artikel BERNAS berjudul Terkejut dengan Badai COVID yang Kita Ciptakan Sendiri, ledakan kasus hari ini bisa jadi adalah akumulasi dari kesalahan-kesalahan penanganan selama satu tahun. Dan masalah hari ini merupakan perkara yang telah diprediksi banyak pakar.

"Saya pernah memprediksi di awal tahun bahwa dalam enam bulan pertama 2021 ini kita akan mengalami masa yang sangat kritis," ungkap epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman kepada VOI.

"Karena kritis tiga bulan pertama itu adalah respons untuk mencegah. Karena gelombang ini kan akan meningkat menuju puncak. Dan itu adalah akumulasi satu tahun. Jadi bisa diprediksi titik jenuhnya akan tercapai di Juni-Juli. Itu ancer-ancer-nya," tambah Dicky.

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Kita perlu kembali ke April 2020 untuk mendalami logika pemodelan Dicky. Saat itu World Health Organization (WHO) menetapkan situasi pandemi COVID-19 Indonesia telah mencapai level community transmission atau penularan lokal, salah satu sirine terburuk dalam pandemi.

Dalam level community transmission, otoritas --negara, kota atau negara bagian-- idealnya menetapkan lockdown total. Fiji, Brisbane, hingga Gaza menerapkan lockdown total ketika mereka menyentuh level itu. Tapi apa yang dilakukan pemerintah Indonesia saat itu?

Ada yang kendur dari sisi kebijakan pemerintah. Dicky menyinggung tiga strategi dasar penanganan pandemi --3T (testing, tracing, treatment), vaksinasi, dan pembatasan mobilitas-- yang tak berjalan baik. Itu terlihat dari pemodelan menunjukkan panjangnya gelombang COVID-19 di Indonesia. 

"Lalu respons pemerintahnya makin bagus, kuat, puncaknya itu cepat tercapai, cepat landai. Yang bagus begitu. Jadi kalau ada satu negara gelombangnya panjang, lama, itu berarti enggak berhasil intervensinya."

"Indonesia kan dalam level community transmition sudah sejak April 2020 sampai sekarang. Artinya kan banyak kasus infeksi dan klaster ini enggak terdeteksi sehingga terus berkembang, beranak pinak si kasus ini."

Hoaks berbahaya dari pemerintah

Jurnal Hoax Communication Interactivity in Social Media and Anticipation yang disusun Christiany Juditha dan dipublikasikan Puslitbang Aplikasi Informatika dan Informasi Komunikasi Publik Kemenkominfo menjelaskan definisi hoaks.

Hoaks adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjukkan pemberitaan palsu atau upaya menipu atau mengakali pembaca untuk mempercayai sesuatu. "Pemberitaan yang tidak berdasarkan kenyataan atau kebenaran (nonfactual) untuk maksud tertentu," tertulis dalam jurnal.

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono menjawab singkat pertanyaan kami mengenai kebenaran soal situasi pandemi yang terkendali sebagaimana dikatakan Luhut. "Jokowi berhasil dibohongi oleh Luhut," tutur Pandu kepada VOI.

Analis kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah juga mencium bau kebohongan dalam narasi yang dibentuk pemerintah. Dalam perspektif kebijakan publik, apa yang dilakukan Luhut, Jokowi, dan jajaran pemerintah lain diistilahkan dengan 'mindset background'.

Pemerintah sengaja membentuk ilusi nan optimis untuk membentuk kesan positif terhadap kebijakan pemerintah. "Konstruksinya membuat selalu positif terus walaupun sebenarnya ada bau hoaksnya. Tapi itu rekonstruksi untuk membuat kebijakan itu seperti dihormati. Konsisten," Trubus, kepada VOI.

Ilusi ini juga diciptakan agar pemerintah dapat menjalankan kebijakan pengendalian COVID-19 sesuai keinginan mereka, bukan berdasar realita dan kepentingan publik. "Meski realitanya bertentangan, itu dianggap sementara. Dinggap saja seperti kerikil tajam yang harus dilalui," tambah Trubus.

Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan (Sumber: Antara)

Dan asal tahu saja. Ciri sikap ini melekat erat pada negara-negara yang menganut sistem otoritarian. Negara otoritarian membangun kebijakan publiknya dengan nilai elitis. Dan untuk memancing dukungan serta partisipasi publik, ilusi-ilusi semacam ini biasa dinarasikan.

"Jadi keyakinan publik itu harus dibangun, didasarkan informasi yang searah. Bunyinya itu melulu ... Jadi atas keyakinan itulah kemudian segala faktor, realitas itu diingkari demi sebuah pencapaian target," tutur Trubus.

"Biasanya kebijakan seperti itu dibangun oleh negara yang kategorinya otoriter. Demokratis lebih partisipatif dan aspiratif. Kemudian kebijakan itu bisa dibelokkan," tambahnya.

Ilustrasi foto penyekatan PPKM (Sumber: Commons Wikimedia)

Sebahaya-bahayanya hoaks adalah yang diproduksi pemerintah. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel BERNAS berjudul Hoaks Kesehatan Lebih Berbahaya ketika Pemerintah Ikut Memproduksinya, dalam konteks komunikasi, hoaks mengenal hierarki informasi.

Artinya informasi yang disampaikan otoritas akan memiliki dampak lebih besar. Dan ketika informasi itu palsu, bayangkan kekeliruan sikap dan keputusan yang diambil masyarakat. Di situasi krisis kesehatan semacam ini, hoaks dari otoritas amat besar dampak destruktifnya.

"Karena masyarakat kita adalah masyarakat hierarkis, pernyataan hoaks yang keluar dari seorang tokoh masyrakat, tokoh agama, pejabat tentu tidak sama kalau keluar dari masyarakat biasa karena dampaknya akan lebih besar," ungkap Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho kepada VOI.

*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya