Bagikan:

JAKARTA - Di beberapa wilayah, periode musim pancaroba semakin panjang dari yang sudah diprediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Di waktu bersamaan, kasus COVID-19 di Indonesia menggila. Pertanyaannya, apakah ada kaitannya antara musim yang identik dengan musim penyakit dengan lonjakan kasus virus corona baru? 

Musim pancaroba atau peralihan musim hujan ke musim kemarau semakin lama dari prediksi BMKG. Seperti dijelaskan pada laman resmi BMKG, perkiraan awal musim kemarau 2021 di 198 zona musim akan berlangsung pada Mei dan Juni 2021. Itu artinya kalau prediksi tepat, paling lama pancaroba akan berlangsung sampai Juni. 

Prediksi pun meleset. Kepala Sub Bidang Analisis dan Informasi Iklim BMKG Adi Ripaldi mengamini bahwa musim pancaroba khususnya di wilayah Jabodetabek menjadi lebih panjang. "Musim kemaraunya terlambat ini," kata Adi kepada VOI

Berdasarkan monitoring BKMG, sampai pertengahan Juni baru 63 persen wilayah zona musim yang baru masuk kemarau. "Masih ada 37 zona yang masih mengalami musim hujan. khususnya Jabodetabek beberapa wilayah di DKI Jakarta, Tangerang, Bogor masih musim hujan."

Ilustrasi hujan (Sumber foto: Antara)

Adi menjelaskan sedikitnya ada tiga penyebab mengapa musim pancaroba di Jabodetabek menjadi lebih panjang. Pertama, karena gelombang atmosfer dari Indian Ocean masih cukup masif terdorong ke arah Indonesia. 

Kedua, adanya indikasi pusat tekanan rendah di sekitar barat daya Sumatera yang menarik masa udara dari laut India ke wilayah Indonesia. Ketiga, karena temperatur permukaan laut sekitar laut Jawa juga masih hangat sehingga pertumbuhan awan hujan masih intens meski sudah bulan Juni. 

"Meski gangguan global la nina sudah berakhir, menurut Adi rupanya masih ada gangguan-gangguan skala regional dan lokal (seperti yang dijelaskan sebelumnya) yang menyebabkan awal musim kemarau di beberapa zona musim di Jawa terlambat. Termasuk di Jabodetabek," jelas Adi. Lantas apakah ini akibat dari perubahan iklim?

Menurut Adi, fenomena ini belum bisa langsung dikaitkan dengan perubahan iklim. Kata dia, ini masih bersifat variasi iklim yang disebabkan gangguan atmosfer dan laut. 

"Dan sifatnya gangguan ini temporary. Ketika gangguan berhenti maka kita akan menghadapi musim kemarau secara normal dimana kejadian hujan akan berkurang atau curah hujan rendah," kata Adi.

Ilustrasi (Daoudi Aissa/Unsplash)

Munculnya beragam penyakit

Meski mengaitkan pancaroba berkepanjangan dengan perubahan iklim masih terlalu dini, tapi dampak perubahan iklim sudah jelas di depan mata. Salah satu buktinya adalah terjadinya bencana banjir. Kemudian adakah dampak perubahan iklim terhadap penyebaran penyakit? 

Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) pernah menjelaskan hal tersebut. Seperti dijelaskan laman icctf.or.id, perubahan iklim dapat membantu menyebarkan penyakit di masa depan. "Iklim yang menghangat dan meningkatnya variabilitas dalam pola cuaca di seluruh dunia membuatnya lebih mudah untuk menularkan penyakit dari negara mana pun."

Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melacak dan menganalisis bagaimana perubahan iklim berdampak kepada kesehatan masyarakat. Misalnya saja pada kasus polusi udara. Hal tersebut dapat meningkatkan risiko penyakit seperti jantung dan masalah pernafasan. Lantas apakah ada hubungannya antara perubahan cuaca dengan lonjakan kasus COVID-19?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut VOI menghubungi Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman. Dan menurutnya hal ini tidak ada kaitannya. 

"Tidak ada kaitannya dengan cuaca. Yang memburuk ini sejawa (bukan hanya Jabodetabek)," kata Dicky.

*Baca informasi lain tentang COVID-19 atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya