Mengenal Kelompok Antifa yang Bagi Trump Teroris dalam Aksi Solidaritas George Floyd
JAKARTA - Ketika protes besar-besaran atas kematian George Floyd terus mengguncang Amerika Serikat (AS), Presiden Donald Trump menyatakan segera melegitimasi Antifa, salah satu kelompok demonstran sebagai organisasi terorisme. Siapa mereka kelompok Antifa?
Pernyataan itu dikicau Trump lewat akun Twitter pribadinya, Minggu, 31 Mei. Gagasan Trump ditentang. Pemerintah AS disebut tak memiliki dasar hukum untuk melabeli sebuah kelompok domestik sebagai teroris, sebagaimana pemerintah AS kerap melabeli kelompok asing sebagai organisasi teroris.
Pejabat pemerintah saat ini dan pejabat terdahulu mengatakan gagasan tersebut melanggar konstitusi terkait penegakan Amandemen Pertama (Amandment I) Konstitusi AS yang menjadi ideologi dasar atas kebebasan berpendapat dan berkumpul di Negeri Paman Sam.
Atas dasar itu juga hukum AS hanya mengizinkan penunjukan kelompok asing sebagai organisasi teroris, dengan alasan, perlindungan Amandemen Pertama tak menyentuh kelompok asing. Selain itu, kelompok Antifa juga sulit didefinisikan.
Yang jelas, banyak anggota Antifa yang mendukung kaum tertindas. Mereka kerap memprotes penumpukan kekayaan oleh perusahaan dan elite. Beberapa menggunakan taktik radikal dan militan untuk menyampaikan pesan itu.
Tump pun menyadari hal itu. Bahkan, ia menambahkan, kelompok Antifa tidak berbentuk dan tak memiliki kepemimpinan pusat, meski beberapa aktivis lokal sangat terorganisir. Hal tersebut membuat penegak hukum AS kesulitan menangani kekerasan dari anggota kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Antifa.
Gagasan Trump melegitimasi Antifa sebagai kelompok teroris muncul ketika dirinya dan Jaksa Agung Bill Barr menunjuk kelompok sayap kiri --merujuk pada Partai Demokrat-- sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan yang menjadi ujung dari derasnya protes atas pascakematian Floyd di seluruh negeri.
Pejabat penegak hukum federal mengklaim mengetahui adanya kelompok-kelompok luar yang berada di belakang beberapa perusakan properti dan kekerasan, berlindung atas nama protes resmi Minneapolis dan daerah lainnya. Kelompok-kelompok ekstremis domestik itu termasuk kaum anarkis, supremasi kulit putih, dan ekstremis sayap kiri, yang beberapa di antaranya memiliki tumpang tindih afiliasi.
Pengumuman yang disampaikan Departemen Kehakiman ketika hendak menggunakan Pasukan Tugas Teroris Bersama untuk menanggulangi demonstrasi juga mengidentifikasi Antifa sebagai organisasi sayap kiri. Namun, pejabat penegak hukum AS juga mengatakan ada kelompok sayap kanan yang terlibat dalam kerusuhan dan serangan terhadap polisi.
Fokus Trump dan Barr pada kelompok-kelompok berhaluan kiri juga sangat kontras dengan peringatan berulang kali dalam beberapa tahun terakhir dari penegakan hukum AS. Mereka menyebut kebangkitan kelompok supremasi kulit putih telah jadi tantangan terorisme domestik terbesar.
Christopher Wray, Direktur FBI telah menyuarakan keprihatinan tentang peningkatan aktivitas supremasi kulit putih yang mendorong ancaman teror domestik. Ia bahkan menyebut beberapa aktivitas teror kelompok supremasi kulit putih melebihi aktivitas kelompok teroris asing.
Pemerintahan Trump memang kerap menyatakan ancaman akan menunjuk berbagai kelompok sebagai organisasi teroris. Sebelum ini, Departemen Luar Negeri AS menyatakan kelompok supremasi kulit putih Rusia sebagai kelompok asing dan organisator teroris. Kelompok ini diketahui memiliki dukungan dari segelintir warga AS.
Apa itu Antifa?
Antifa, kependekan dari anti-fasis, menggambarkan sekelompok besar orang yang keyakinan politiknya condong ke kiri. Meski demikian, mereka juga tidak sesuai dengan Partai Demokrat. Scott Crow, seorang mantan penyelenggara Antifa, mengatakan "cita-cita radikal" yang dipromosikan oleh Antifa mulai diadopsi oleh kaum liberal.
"Mereka tidak akan pernah melihat (cita-cita itu) sebelumnya karena mereka melihat kita sebagai musuh sebanyak sayap kanan," kata Crow.
Asal mula kelompok ini tidak diketahui. Tetapi, Antifa dapat ditelusuri ke Nazi Jerman dan Aksi Anti-Fasis, sebuah kelompok militan yang didirikan pada 1980-an di Inggris.
Anggota Antifa modern menjadi lebih aktif dalam membuat diri mereka dikenal di demonstrasi publik dan dalam gerakan progresif. Hal itu diungkap Brian Levin, Direktur Pusat Studi Kebencian dan Ekstremisme di Universitas Negeri California, San Bernardino.
"Apa yang mereka coba lakukan sekarang tidak hanya menjadi menonjol melalui kekerasan di demonstrasi-demonstrasi penting ini, tetapi juga untuk menjangkau melalui pertemuan-pertemuan kecil dan melalui jejaring sosial untuk menumbuhkan progresif yang kehilangan hak pilih yang sebelumnya damai," kata Levin.
Crow, yang terlibat dengan Antifa selama hampir 30 tahun, mengatakan para anggota menggunakan kekerasan sebagai alat pertahanan diri. Mereka juga percaya perusakan properti tidak sama dengan kekerasan.
"Ada sebuah tempat untuk kekerasan. Apakah itu dunia yang ingin kita tinggali? Tidak. Apakah ini dunia yang ingin kita huni? Tidak. Apakah ini dunia yang ingin kita ciptakan? Tidak. Tetapi apakah kita akan mundur? Ya," kata Crow.
Levin mengatakan aktivis Antifa merasa perlu untuk mengambil bagian dalam kekerasan karena "mereka percaya bahwa elite mengendalikan pemerintah dan media. Jadi, mereka perlu membuat pernyataan langsung terhadap orang-orang yang mereka anggap rasis."
Kelompok Antifa dikenal karena menyebabkan kerusakan pada properti saat melangsungkan protes. Di Berkeley, pemrotes berpakaian hitam mengenakan topeng melemparkan bom Molotov dan menghancurkan jendela di pusat serikat mahasiswa, tempat acara Yiannopoulos akan diadakan.
Nasionalis kulit putih dan beberapa orang lain yang menyebut diri mereka 'alt-right' telah mengecam anggota Antifa yang biasa mereka sebut "alt-left". Banyak nasionalis kulit putih dari demonstrasi Charlottesville mengklaim bahwa kelompok-kelompok Antifalah yang memimpin protes untuk berubah jadi kekerasan.
Peter Cvjetanovic, seorang nasionalis berkulit putih yang menghadiri protes di Virginia, mengatakan, dia yakin kelompok paling kiri, termasuk Antifa. "Mereka adalah orang-orang yang mengajarkan toleransi dan cinta. Sementara, pada saat yang sama mengancam orang-orang dengan ideologi politik yang berbeda," kata Cvjetanovic.
"Kami pergi ke aksi unjuk rasa kami dan mereka melecehkan kami dan menyerang kami tetapi menahan mereka dan kami mengabaikan mereka," tambah Cvjetanovic.