Jokowi dan Soeharto Sama-Sama Ingin Kritik yang Sopan

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) merespons kritik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI). Jokowi mengaku amat terbuka pada kritik. Tapi kritik yang bertata krama. Kritik dengan syarat dan ketentuan bukan hal baru. Soeharto pernah menyatakan begitu.

Dalam sebuah video publikasi yang ditayangkan kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Selasa, 29 Juni, Jokowi juga meminta pihak rektorat UI tak membungkam kebebasan berpendapat para mahasiswa. Jokowi mengaku paham kritik terhadapnya adalah bentuk ekspresi mahasiswa.

Meski begitu Jokowi mengingatkan soal budaya sopan santun dan tata krama yang harus dipatuhi. Jokowi bukan tak sadar derasnya kritik yang menyasar dia. "Dulu ada yang bilang saya ini klemar-klemer. Ada yang bilang juga saya itu plonga-plongo," tutur Jokowi.

"Kemudian ganti lagi ada yang bilang saya ini otoriter. Kemudian ada juga yang ngomong saya ini bebek lumpuh dan baru-baru ini ada yang ngomong saya ini Bapak Bipang. Dan terakhir ada yang menyampaikan mengenai The King of Lip Service."

"Saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa. Dan ini negara demokrasi. Jadi kritik ya boleh-boleh saja. Dan universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi. Tapi juga ingat kita ini memiliki budaya tata krama, budaya kesopan santunan."

>

Kritik dengan syarat dan ketentuan

Soal kritik dengan syarat dan ketentuan ini pernah tercatat sejarah. Soeharto jadi sosok yang lekat dengan sikap ini. Arsip pemberitaan Republika 21 Januari 1993 yang dikutip ke dalam buku Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita (1993) mengisahkan itu.

Soeharto pernah menjelaskan panjang lebar tentang sikapnya terhadap kritik. Pada dasarnya Soeharto tak keberatan dikritik. Syaratnya, kritik tersebut harus bermutu, konstruktif, dan membawa serta jalan keluar di dalamnya. Syarat terakhir, Soeharto juga meminta kritik disampaikan secara sopan.

"Kritik jangan asal kritik. Kalau kritik itu hanya untuk nyela (mencela), gampang. ‘Salah… salah… salah,’ tapi ndak bisa menunjukkan mana yang benar. Mengkritik salah tapi ditanya yang benar yang mana, ndak tahu. Nah itulah … Kalau sanggup mengkritik, harus sanggup menunjukkan mana yang baik. Itu yang harus kita budayakan," tutur Soeharto.

Soeharto melanjutkan, ia sepakat pemerintah perlu kontrol. Namun Soeharto menegaskan batas-batas dalam kontrol tersebut. Soeharto juga membawa kebudayaan serta jati diri bangsa sebagai hal yang harus dipatuhi dalam berpolitik dan bermasyarakat, termasuk saat mengkritik.

Presiden ke-2 RI Soeharto (Sumber: Commons Wikimedia)

"Republik Indonesia yang kita dirikan, kita proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Satu hari kemudian lahir UUD 1945 dan Pancasila. Karena itu, tentunya, kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat kita harus didasarkan kepada apa yang menjadi landasan proklamasi itu sendiri."

"Masalahnya sekarang adalah bagaimana menyampaikan kritik yang sesuai dengan Demokrasi Pancasila. Sekarang ini ada mengajukan pertanyaan seolah-olah demokrasi kita tidak berkembang. Ada yang mengatakan loyo dan sebagainya. Sebetulnya mereka itu tidak mengerti apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan konsensus yang telah ada."

Soeharto menjelaskan konsensus yang ia maksud. Menurutnya, dalam konsensus itu rakyat diberi kedaulatan utama. Pelaksanaan kedaulatan rakyat itu diserahkan kepada wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen. Soeharto meminta setiap masyarakat menyadari peran parlemen sebagai wakil mereka.

"Semula ada Demokrasi Terpimpin. Wakil-wakil rakyat mencabut Demokrasi Terpimpin, kalau ndak salah, dalam sidang MPRS tahun 1967. Di situ sudah ditekankan mengenai pelaksanaan Demokrasi Pancasila."

Pelaksanaan Demokrasi Pancasila, kata Soeharto menyangkut musyawarah mufakat, sebagaimana ditetapkan dalam sila keempat. Dalam tafsir Soeharto, perbedaan dibenarkan sebagai hal yang harus dimusyawarahkan. Langkah memusyawarahkan perbedaan itu penting demi mencapai kata mufakat.

Lalu, jika Soeharto menyebut-nyebut kritik bermutu, apa maksudnya? Kata dia, kritik bermutu adalah yang tidak bertentangan dengan kepentingan rakyat. Itu jadi salah satu pegangan dalam pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Kedua adalah kritik yang merujuk P4.

P4 atau Pedoman Pelaksanaan Penghayatan Pancasila adalah salah satu rujukan hidup dalam Demokrasi Pancasila. P4 lahir lewat Sidang Umum MPR pada tahun 1978. "Itu yang harus dipakai sebagai rujukan karena P4 sebenarnya memang untuk melaksanakan Demokrasi Pancasila," Soeharto.

Kritik untuk Jokowi

Presiden Jokowi (Instagram/@jokowi)

Respons Jokowi dipicu unggahan meme dan ilustrasi visual Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang mengkritik kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Satu narasi besar dari kampanye media sosial itu, BEM UI menyebut Jokowi 'The King of Lip Service".

Ada beberapa dasar dari kritikan itu. Pertama pernyataan Jokowi yang pernah bilang dirinya rindu didemo. Kata Jokowi, sebuah pemerintahan butuh dikritik, termasuk lewat demonstrasi. Jokowi mengatakan itu ketika masih menjabat Wali Kota Solo. Lalu apa yang terjadi ketika demonstrasi betul dilakukan

BEM UI menyinggung berbagai aksi represif yang dilakukan aparatur negara di bawah pemerintahan Jokowi terhadap massa dalam banyak aksi unjuk rasa. Demonstrasi Omnibus Law Cipta Kerja, aksi dalam Hari Buruh 2021, hingga Hari Pendidikan Nasional 2021 dan protes massa terhadap revisi UU KPK.

Jokowi juga dikritik atas responsnya terhadap upaya-upaya pelemahan KPK. Jokowi kerap menyatakan dukungan pada KPK, ketika di waktu yang sama juga melegitimasi revisi UU KPK yang dianggap melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Dasar-dasar itulah yang diangkat BEM UI.

BEM UI turut memuat daftar pustaka dan referensi yang mendukung kritikan mereka, termasuk artikel MEMORI berjudul Sejarah UU ITE: Megawati Ajukan Draf, Disahkan SBY dan Berlanjut sampai Jokowi. "Semua mengindikasikan bahwa perkataan yang dilontarkan (Jokowi) tidak lebih dari sekadar bentuk 'lip service' semata," tulis BEM UI dalam keterangannya.

"Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya. Tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya."

Kritik itu berujung teguran. Rektorat UI memanggil sepuluh anggota BEM UI dan menyebut mereka melanggar aturan. Rektorat juga menyebut Jokowi sebagai simbol negara.

Pernyataan rektorat UI mengada-ada, sebagaimana dijelaskan dalam artikel BERNAS berjudul Banyak Alasan untuk Melawan. Selain tekanan dari kampus, sejumlah anggota BEM UI juga mengalami peretasan media sosial.

*Baca informasi lain tentang JOKOWI atau tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya