Indef: Jangan Sampai Terulang Kembali Bansos yang Tak Tepat Sasaran

JAKARTA - Pemerintah akan memperpanjang bantuan sosial (Bansos) sembako dan bantuan langsung tunai (BLT) hingga akhir tahun. Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menilai, pemerintah harus bisa menjamin bansos tersebut tepat sasaran.

Tauhid mengatakan, pemerintah tidak punya alasan lagi untuk tak verifikasi dan validasi data calon penerima bantuan yang didapat dari dinas sosial di daerah-daerah. Sebab, jangka waktu pemberian sudah diperpanjang.

"Validasi data perlu ada, cukup waktu kok ini, kecuali tiga bulan memang berat. Tetapi kan ini sampai Desember, jadi perlu ada. Karena tidak mungkin dalam kondisi seperti ini tidak diverifikasi. Nanti akhirnya anggaran sosial tidak tepat sasaran dan masyarakat yang tidak membutuhkan hanya menambah simpanan mereka saja," tuturnya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Selasa, 19 Mei.

Menurut Tauhid, jika pemerintah sudah memutuskan untuk memperpanjang waktu pemberian bantuan, artinya pemerintah sudah memperkirakan bahwa krisis akan berlangsung hingga akhir tahun. Karena itu, pendataan dan verifikasi data menjadi sangat penting agar ada nama-nama calon penerima baru.

Tauhid mengatakan, dalam kondisi pandemi virus corona atau COVID-19, pemerintah harus melibatkan instansi independen dalam pendataan, seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dengan didampingi Kementerian Sosial, dan Pemerintah Daerah. Sebab, tidak bisa hanya mengandalkan data dari level terbawah di daerah yakni kepala rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW).

Lebih lanjut, Tauhid menjelaskan, selain tak mengerti soal indikator untuk mengelompokkan masyarakat miskin dan hampir miskin, RT/RW cenderung menghindari konflik sosial di masyarakat.

"Di tempat saya itu akhirnya kemarin semua dapat. Jadi tidak lagi melihat kaya atau miskin kena PHK atau tidak. Karena daripada ada konflik sosial, akhirnya dibagi. Kasihannya kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan dan akhirnya jumlahnya menjadi tidak cukup. Harusnya dia mendapat 100 karena harus dibagi dengan orang lain, dia hanya mendapatkan setengah atau seperpempatnya," jelasnya.

Tauhid mengatakan, kebutuhan masyarakat bawah miskin atau hampir miskin ini yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebab, mereka adalah kelompok yang paling butuh dengan nilai bantuan yang lebih besar. Di samping karena memang kebutuhannya relatif lumayan, kondisi juga mereka paling rentan.

"Karena mereka tidak punya penghasilan, tidak punya aset atau jaminan keuangan dan tidak punya tabungan. Ini yang menurut saya masyarakat dalam kondisi bahaya," tuturnya.

Jangan Kurangi Nilai Bantuan

Pemerintah memang memperpanjang waktu pemberian bansos, namun nilai bantuan yang diterima masyarakat berkurang. Awalnya, untuk masyarakat Jabodetabek mendapat bantuan sembako dengan nilai Rp600.000 yang diberikan selama tiga bulan April hingga Juni. Sedangkan, masyarakat non-Jabodetabek mendapat BLT senilai Rp600.000.

Namun, pada periode Juli hingga Desember jumlah bantuan yang akan diterima masyarakat Jabodetabek dan non-Jabodetabek berkurang menjadi Rp300.000.

Menurut Tauhid, keputusan pemerintah mengurangi nilai bantuan justru akan menimbulkan masalah baru. Sebab, dengan nilai bantuan Rp300.000 tidak cukup untuk menutupi kebutuhan masyarakat miskin selama satu bulan.

"Ini paling sekitar 10 atau 12 persen dari kebutuhan, jadi sangat kurang sekali. Kami khawatir bahwa krisis ini ataupun pandemi ini tidak selesai dalam waktu relatif cepat. Jadi menurut saya bukan dikurangi malah justru harus ditambah," jelasnya.

Tak Perlu Skenario The New Normal

Tauhid tak menampik jika skenario The New Normal dijalankan maka akan ada peningkatan aktivitas ekonomi. Namun, peningkatkan itu juga diiringi dengan bertambahnya kasus baru dan akhrinya justru membuat pandemi tak kunjung usai di Indonesia.

"Pandemi akan lebih panjang dan akan lebih lama lagi. Sekarang per hari bisa 400 kasus, itu nanti akan naik lagi. Kalau naik bagi pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan PSBB baru di satu wilayah dan sebagainya dan akhirnya tidak berhenti dan konsekuensinya recovery ekonominya relatif lebih lama," tuturnya.

Menurut Tauhid, yang paling tepat dilakukan pemerintah saat ini adalah memberikan bansos dengan nilai yang besar. Sehingga, kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.

"Keluarkan bansos lebih banyak dan PSBB agak tegas. Kita harus mempercepat waktu pandeminya, jangan sampai ini dibiarkan berlarut-larut. Lembaga kita terlalu yakin bahwa ini sudah penurunan kasus pandemi. Sehingga mengeluarkan kebijakan The New Normal, menurut saya kalau perhitungan sekarang, kasus ini kan masih relatif tinggi," katanya.

Apalagi, kata Tauhid, saat ini masyarakat cenderung abai dengan kesehatan. Padahal, yang terpenting untuk mengurangi jumlah kasus adalah kesadaran mengenai keselamatan dan kesehatan di masyarakat.

"Sekarang masyarakat abai karena memang pemerintahannya juga cenderung membolehkan dan ketidakkonsistenan terhadap kebijakan yang dibuat. Kasua Bandara Soetta salah satu ilustrasinya," jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dari sisi konsumsi langkah yang diambil pemerintah adalah memberi subsidi bansos kepada masyarakat miskin dan rentan secara lebih luas. Tujuannya untuk menahan merosotnya konsumsi yang terlihat mengalami penurunan tajam.

Sri berujar, program bansos pada masa penyebaran COVID-19 sudah diimplementasikan oleh pemerintah, mulai dari program keluarga harapan (PHK) hingga Kartu Prakerja.

"Bansos Jabodetabek dan bansos tunai non jabodetabek diberikan sembilan bulan hingga Desember," katanya, dalam video conference bersama wartawan, Senin, 18 Mei.

Awalnya, pemerintah pusat memberikan bansos berupa sembako dengan nilai Rp600.000 untuk wilayah Jabodetabek yang diberikan sejak April hingga Juni. Sedangkan, untuk wilayah di non-Jabodetabek diberikan uang tunai dengan nilai yang sama.

"Untuk Juli sampai Desember jadi Rp300.000 ribu per bulan dari Rp600.000 ribu per bulan," jelasnya.