Tes Wawasan Kebangsaan yang Harusnya Tak Bisa Jadi Dasar Pemecatan Pegawai KPK
JAKARTA - Empat mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memberikan keterangan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait dugaan pelanggaran dalam proses pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada Jumat, 18 Juni lalu.
Eks pimpinan yang hadir secara luring adalah Mochammad Jasin. Sedangkan sisanya, yaitu Abraham Samad, Saut Situmorang, dan Bambang Widjojanto hadir secara daring.
Terdapat sejumlah hal yang digali oleh penyelidik Komnas HAM terhadap mereka, salah satunya adalah mekanisme pemecatan terhadap pegawai. Hal ini disampaikan oleh mantan Wakil Ketua KPK M Jasin usai memberikan keterangan secara langsung di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat.
Menurutnya, pemecatan pegawai KPK tidak bisa sembarangan karena harus ada latar belakang yang jelas dan audit yang dilakukan oleh pengawas internal. Sehingga, sebelum memberhentikan pegawainya, KPK lebih dulu mendalami dugaan pelanggaran etik maupun pelanggaran lainnya termasuk pelanggaran hukum.
"Jadi tidak hanya sekadar tes saja kemudian sebagai dasar untuk melengserkan pegawai KPK, enggak bisa. Dasarnya harus audit atau pemeriksaan," katanya saat itu kepada wartawan.
Lebih lanjut, Jasin mengatakan pegawai komisi antirasuah adalah mereka yang digaji dengan APBN jika merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK. Sehingga, pemecatannya harus didasari hal-hal yang diatur dalam aturan tersebut.
"Antara lain pelanggaran umum, pelanggaran kode etik, atau tidak bisa mencapai kinerja atau meninggal dunia," tegasnya.
"Jadi enggak ada tuh tes itu, basis tes untuk misalnya saja TWK ini di PP Nomor 41 Tahun 2020 tidak ada klausul bahwa ada tes yang berakhir pemecatan. Itu tidak ada," imbuh Jasin.
Sebagai informasi, pada proses peralihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) terdapat 75 orang yang dinyatakan gagal karena tidak lulus TWK.
Mereka yang tidak lolos di antaranya penyidik senior Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid juga sejumlah penyidik maupun penyelidik lain. Hal ini lantas memunculkan isu penargetan terhadap para pegawai tersebut utamanya mereka yang menangani kasus korupsi kelas kakap.
Selanjutnya, mereka yang tidak lolos tersebut itu dinonaktifkan sehingga tak bisa menjalankan tugasnya sebagai pegawai KPK. Hanya saja, belakangan KPK mengatakan akan memecat 51 dari 75 pegawai mereka yang dinyatakan tak lolos karena tidak bisa dibina.
Sementara sisanya, sebanyak 24 pegawai akan dibina terlebih dahulu melalui pendidikan bela negara dan wawasan kebangsaan tapi mereka juga bisa dipecat jika dinyatakan tak lulus.
Meski Jasin mengatakan TWK harusnya tak jadi rujukan pemberhentian puluhan pegawai, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron justru mengatakan sebaliknya. Tes ini, kata dia, menjadi syarat alih status pegawai setelah diatur dalam Perkom Nomor 1 Tahun 2021.
"Memang kalau dipertanyakan, TWK tidak pernah diatur di UU. Tidak pernah diatur memang. Tapi untuk memenuhi syarat, bagaimana caranya kalau tidak dites," ungkapnya beberapa waktu lalu kepada wartawan, Kamis, 27 Mei.
"Anda, misalnya, kalau mau masuk di perusahaan media, minta misalnya TOEFL-nya 500, lalu apa dokumennya, bisa dilakukan tes sendiri atau menggunakan sertifikat TOEFL? Itulah contoh kenapa ada TWK," imbuh Ghufron.
Baca juga:
- Komnas HAM 'Ngotot' Periksa Firli Dkk, Jubir: KPK Kolektif Kolegial, Satu Sudah Cukup
- Beberapa Pertanyaan Tak Bisa Dijawab Ghufron, Komnas HAM Tunggu Pimpinan KPK Lain
- Komnas HAM Sebut Nurul Ghufron Tak Bisa Jawab Sejumlah Pertanyaan Soal Pelaksanaan TWK
- Di Komnas HAM, Pimpinan KPK Jelaskan Landasan Hukum Penyusunan Kebijakan Alih Status Pegawai
Atas alasan inilah, TWK kemudian sengaja digunakan sebagai mekanisme alih status pegawainya meski ujungnya ada puluhan yang dinyatakan tak lolos.
"Hasilnya, ada yang memenuhi syarat, ada yang tidak memenuhi syarat. Bagaimana KPK? Pimpinan menyadari bahwa keberadaan KPK ini bukan karena gedungnya yang tinggi 16 lantai, bukan karena alat canggih, tapi terutama sumber daya manusia," ujar Ghufron.
"Maka, kami tegaskan, kami semua bukan hanya memperjuangkan, tapi kami menyayangi mereka semua. Tapi, kami juga harus memahami, ada perbedaan sistem antara pegawai KPK dan ASN yang antarsistem harus saling menyelesaikan, maka yang menyesuaikan atau yang sesuai persyaratannya dengan syarat ASN itu yang hanya bisa diterima sebagai ASN," pungkasnya.