Vaksin Nusantara Harus Dimasukan ke Konsorsium Riset COVID-19
JAKARTA - Komisi VII DPR RI menilai vaksin Nusantara perlu dimasukan sebagai salah satu anggota Konsorsium Riset COVID-19. Seiring banyak munculnya varian baru mutasi dari virus mematikan itu.
Menurut anggota Komisi VII DPR Mulyanto, Pemerintah perlu memberi kesempatan yang sama kepada semua warga masyarakat yang ingin berpartisipasi mengatasi pandemi COVID-19. Apalagi, upaya yang dilakukan tim riset vaksin Nusantara sudah memenuhi standar penelitian.
"Konsorsium Riset COVID-19 perlu melibatkan tim riset vaksin Nusantara untuk melengkapi platform pengembangan vaksin Merah Putih yang telah ada. Sehingga pengembangan vaksin Nusantara ini menjadi sinergis dan optimal," ujar Mulyanto dalam keterangannya, Kamis, 17 Juni.
Mulyanto menilai, konsorsium Riset COVID-19 ini dapat menjadi payung ilmiah sekaligus scientific proof dalam pengembangan vaksin Nusantara. Dengan demikian, kata dia, berbagai argumen filosofis keilmuan dan temuan teknis ilmiah yang muncul dapat dibahas secara objektif dalam konsorsium sesuai dengan fungsi Konsorsium Riset sebagai forum evaluasi dan koordinasi ilmiah riset COVID-19.
"Ini solusi yang produktif, ketimbang membiarkan polemik soal Vaksin Nusantara di media sosial. Karena kalau dibiarkan hanya memunculkan sikap pro-kontra non ilmiah, dukung-mendukung oleh elit, yang akhirnya merembes masuk ke wilayah sosial politik. Ujung-ujungnya hanya menambah bising atmosfer kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini kan kontraproduktif," tegas Mulyanto.
Baca juga:
Selain itu, lanjut Mulyanto, kebersamaan dalam konsorsium riset akan membuat riset vaksin Nusantara menjadi lebih akseleratif. Sebab, riset dilakukan melalui sinergi kelembagaan, SDM, jaringan, informasi ilmiah, sarpras dan dukungan pendanaan.
"Jangan seperti sekarang ini, pengembangan Vaksin Nusantara berjalan 'sendiri' tanpa bimbingan kelembagaan yang kokoh," kata politikus PKS itu.
Seperti diketahui, BRIN melalui Konsorsium Riset COVID-19 mengkoordinasikan 11 platform riset vaksin Merah Putih yang dijalankan oleh 6 lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi, yakni LBM Eijkman, LIPI, UI, ITB, Unair, dan UGM.
Mulyanto menilai, akan menjadi sinergis dan produktif jika konsorsium riset vaksin nasional memasukan tambahan riset vaksin Nusantara sebagai platform kedua belas riset vaksin Merah Putih.
Dikatakannya, negara perlu intervensi untuk mendorong riset dan produksi vaksin domestik. Sehingga Indonesia tidak sekedar menjadi Negara pengguna dan pembeli.
"Indonesia bisa menjadi negara pembuat, yang berbasis keunggulan para inovator handal nasional. SDM dan lembaga riset kita mampu melakukan itu. Jangan kalah dengan para mafia impor vaksin," kata Mulyanto.
Mulyanto menambahkan, peran BRIN sangat penting dalam mengatasi polemik tersebut. Mengingat BRIN merupakan lembaga dengan tugas pokok dan fungsi merumuskan, koordinasi dan pelaksanaan kebijakan riset dan inovasi secara nasional.
Untuk itu, Mulyanto mendesak Pemerintah untuk segera mengkonsolidasikan riset vaksin Nusantara ini ke dalam Konsorsium Riset COVID-19, agar program riset Vaksin domestik semakin konsolidatif dan segera dapat diproduksi secara massal.
"Sayang kalau APBN kita yang ratusan triliun rupiah dihabiskan untuk impor vaksin asing," tandas Mulyanto.
Sebelumnya, Mantan menteri kesehatan dr Terawan Agus Putranto bersama tim risetnya mengungkap hasil uji klinis fase 2 vaksin Nusantara dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Rabu, 16 Juni.
Sempat menuai kontroversi, dr Terawan muncul dengan mengklaim vaksin Nusantara yang dikembangkannya dengan teknologi sel dendritik bisa jadi solusi mengatasi berbagai varian baru virus Corona yang bermunculan belakangan ini. Termasuk, virus ganas varian Delta yang lebih cepat menular.
"Soal varian, saya jawab gampang sekali, hanya butuh delapan hari, antigen saya ganti. Karena Antigen itu rekombinan jadi spike S, kita tinggal lihat dia mutasi mana, tinggal gabung-gabung saja," ujar Terawan.
"Tinggal kita tambahi mutasi Inggris, India, maupun Afrika Selatan," sambungnya.