Revisi Terbatas UU ITE Jadi Sorotan: Dianggap Bukan Solusi dan Pasal Tambahan Didesak untuk Dicabut
JAKARTA - Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akan segera memasuki proses legislasi di DPR RI. Namun, sejumlah pihak menilai revisi terbatas ini sebaiknya dikaji ulang karena dianggap tak menyelesaikan masalah kebebasan berpendapat yang selama ini jadi momok bagi masyarakat.
Penilaian ini salah satunya datang dari Komisioner Komnas HAM bidang Pengkajian dan Penelitian Sandrayati Moniaga. Menurutnya, revisi terbatas ini bukan solusi bagi masalah kebebasan berekspresi yang terkekang karena perundangan tersebut.
Sehingga, pemerintah diminta melakukan kembali kajian terhadap rencana tersebut.
"Komnas HAM RI merekomendasikan agar pemerintah dan DPR RI untuk mengkaji ulang usulan revisi terbatas UU ITE," kata Sandrayati dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan yang dikutip Rabu, 16 Juni.
Menurutnya, empat pasal yang akan direvisi pemerintah dalam UU ITE yaitu Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 serta penambahan pasal baru yaitu Pasal 45 C bukan solusi terhadap ancaman dan problem kebebasan berpendapat serta berekspresi di Tanah Air.
Baca juga:
- Revisi Terbatas UU ITE: Pembuat Konten Asusila Tak Diatur, Penyebarnya Tetap Dihukum
- UU ITE Segera Masuk Proses Legislasi, Mahfud: Masukan Masyarakat Bisa Disampaikan ke DPR
- Tanggapi Pembelaan Menantu Rizieq Shihab yang Anggap JPU Tak Objektif, Jaksa: Justru Pleidoinya Berisi Tudingan
- Jaksa Sebut Rizieq Shihab Berkata Kasar, Pengacara: Tak Bermaksud Tapi Kalau Merasa Ya Urusan Masing-Masing
Adapun Pasal 27 yang terdiri dari 4 ayat berisi larangan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik bermuatan melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal 28 ayat 1 berisi tentang larangan menyebarkan berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Pasal 28 ayat 2 berisi tentang larangan menyebarkan ujaran kebencian berdasarkan suku agama dan ras.
Pasal 29 berisi tentang larangan mengirim informasi elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau untuk menakut-nakuti secara pribadi. Pasal 36 mengatur tentang pembatasan penerapan UU ITE hanya untuk yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Sementara pasal 45C akan mengadopsi Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tentang penyebaran berita bohong atau berita yang belum pasti kebenarannya dan dapat menimbulkan keonaran di masyarakat.
"Komnas HAM RI mempertanyakan dasar pemerintah yang hanya akan merevisi Pasal 27, 28, 29, dan 36. Padahal terdapat pasal-pasal lain yang jadi sumber pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi," ungkapnya.
Sandrayati mengungkap pasal yang dianggap jadi sumber pelanggaran itu adalah Pasal 26 Ayat 3 terkait penghapusan informasi; Pasal 40 Ayat 2a dan 2b terkait pencegahan dan penyebarluasan dan kewenangan pemerintah memutus akses; serta Pasal 43 Ayat 3 dan 6 terkait penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan.
"Untuk itu revisi terbatas pada empat pasal dalam UU ITE bukanlah solusi atas ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia," tegasnya.
"Penambahan pasal baru yaitu Pasal 45 C yang mengadopsi ketentuan peraturan perundang-undangan pada tahun 1946 sudah tak relevan dengan kondisi kekinian sehingga menjadi ancaman bagi demokrasi dan hak asasi manusia," imbuh dia.
Penambahan pasal ini juga menjadi sorotan masyarakat sipil yang menamakan diri sebagai Koalisi Serius Revisi UU ITE. Mereka mendesak pemerintah mencabut pasal 45 C karena berpotensi multitafsir dan disalahgunakan.
"Kami menilai Pasal 45C sangat rentan disalahgunakan karena definisi berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak didefinisikan secara jelas sehingga sangat berpotensi multitafsir. Selain itu, masuknya pasal 45C sangat bertentangan dengan harapan publik akan dihapusnya pasal-pasal bermasalah," kata Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu dalam keterangannya.
Koalisi ini juga menyampaikan ada sejumlah kasus kriminalisasi akibat pasal karet dalam UU ITE. Sejumlah kasus ini terjadi di Surabaya, Bau-bau, dan Jakarta.
"Karenanya (kami, red) mendesak agar pemerintah merevisi delapan pasal yang tercantum dalam Kertas Kebijakan Revisi UU ITE," tegas Erasmus.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah setuju dan memberikan arahan terhadap revisi UU ITE secara terbatas. Kata dia, pemerintah tidak akan mencabut perundangan ini karena pencabutan sama saja dengan bunuh diri.
Terbaru, Mahfud mengatakan status revisi terbatas ini telah selesai dilakukan dan akan masuk ke dalam tahapan legislasi di DPR RI setelah sinkronisasi dilakukan oeh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengatakan, meski draf revisi UU ITE akan masuk proses legislasi tapi publik masih bisa memberikan masukan. Hanya saja, prosesnya disampaikan kepada lembaga legislatif tersebut karena tim kajian sudah selesai melaksanakan tugasnya.