Sepeda sebagai Simbol Sosial Para Priayi di Hindia-Belanda
JAKARTA - Sepeda adalah simbol sosial. Tak ada yang dapat memungkiri itu. Terutama jika dilihat dari sisi sejarah. Ketika sepeda baru masuk Indonesia pada 1890-an, sepeda jadi penanda status sosial. Kaum bumiputra yang memiliki sepeda terbatas pada bangsawan dan priayi. Mereka yang bukan priayi akan dianggap aneh jika menggunakan sepeda.
Sepeda atau yang sering disebut kereta angin merupakan bagian penting dari perkembangan teknologi transportasi dunia, termasuk Hindia-Belanda. Sejak awal kemunculannya, sepeda telah banyak lalu-lalang di jalanan Hindia-Belanda.
Kepopuleran sepeda dipelopori oleh kalangan militer, pegawai kolonial, dan para bangsawan bumiputra. Semenjak itu, Hindia-Belanda jadi pasar bagi sepeda buatan luar negeri. Merek-merek sepeda yang banyak diminati kala itu terbatas pada fongers, Batavus, Sparta, Gazelle, Humber, Phillips, Raleigh, Goricke, dan Fahrrad.
Sepeda-sepeda buatan Eropa itu dikirim menggunakan kapal api berbahan bakar kayu atau batu bara. Pengiriman sepeda juga telah tertuang dalam catatan pengeluaran Belanda untuk impor Hindia-Belanda, bersama dengan komoditas lainnya.
Tercatat, pengeluaran untuk impor yang dikeluarkan pemerintah kolonial mencapai 948 juta gulden selama tahun 1928. Kebutuhan tersebut banyak didatangkan dari Belanda, Inggris, Singapura, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia.
“Belanda nenyediakan 18,12 persen, sebagian besar dalam barang-barang katun, peralatan, permesinan dan perkakas, barang-barang besi dan baja, cerutu, tembakau dan rokok. Inggris Raya 12,56 persen, untuk sebagian besar barang barang katun, bahan makanan, barang-barang besi dan baja. Singapura sebagai pusat distribusi, 11,64 persen, terutama dalam beras, bahan makanan lainnya, dan manufaktur katun,” ungkap J. Stroomberg dalam buku Hindia-Belanda 1930 (2018).
“Jerman 10,68 persen, terutama dalam permesinan, perkakas, barang-barang besi dan baja. Amerika Serikat 10,16 persen, terutama dalam mobil, sepeda, sepeda motor, dan sebagainya. Jepang 9,88 persen, sebagian besar dalam barang-barang katun. Australia 2,74 persen, terutama mentega dan tepung,” tambahnya.
Akan tetapi sepeda yang ada pada waktu itu masih jauh dari kata nyaman. Apalagi, rem yang dipakai untuk sepeda masih berupa rem tusuk. Sebuah rem tunggal yang menekan roda depan dari atas, bukan dari samping.
Bannya pun masih menggunakan ban mati (tanpa angin) yang membuat pantat empunya sepeda pedas bila digunakan pada jalanan yang berlubang dan berbatu. Sepeda bahkan belum dilengkapi dengan penutup rantai. Pun tampilannya masih sangat sederhana.
“Kendaraan yang mulai dikembangkan dengan pesat sejak 1890 itu memang bisa dibilang sebagai bagian dari suatu era teknologi transportasi. Sejak desainnya yang pertama, tak terhitung penemu yang menambahkan sesuatu pada alat yang juga disebut 'kereta angin' atau 'pit' (Jawa) atau 'basikal' (Malaysia) ini. Ban mati, tanpa angin, yang membuat pantat si penunggang merasa pedas bila sepeda menempuh jalan buruk dan ini masih kita alami di tahun-tahun pertama 1950-an,” hadir dalam laporan Majalah Tempo berjudul Jejak-Jejak Sepeda di Medan Perang (1983).
Sepeda penanda status sosial priayi
Harga sepeda pada masa penjajahan Belanda hampir setara dengan harga satu ons emas. Oleh sebab itu, sepeda tak saja dikenal sebagai alat transportasi belaka, tapi juga sebagai penanda status sosial. Selain orang belanda dan bangsawan, mereka yang mampu membeli sepeda terbatas pada kalangan priayi yang terpandang.
Itupun paling tidak dengan gaji mencapai 135 gulden per bulannya. Dengan gaji sebanyaknya itu, seorang priayi dapat membeli sepeda dengan merek terbaik. Sekalipun tak dibeli secara kontan, tapi lewat cara kredit. Sebab priayi zaman itu identik sebagai krediet waardig (orang sering melakukan kredit).
“Pada masa penjajahan Belanda, gaya hidup priayi dan orang-orang yang bekerja di gubernemen dikenal eksklusif. Jika awalnya mereka menggunakan kuda atau kereta kuda sebagai alat transportasi, sepeda pun mulai digunakan. Bunyi tromol dan lonceng yang berdenting nyaring membuat mereka semakin bangga mengayuh sepeda,” tertulis dalam buku Piet Onthel (2011).
Kebanggaan memiliki sepeda juga sempat diungkap oleh Soekarno muda. Sebagai anak priayi rendahan, Soekarno sempat iri dengan teman-temannya yang memiliki sepeda di Hoogere Burgerschool (HBS).
Setiap anak di HBS menurut penuturan Bung Karno memiliki sepeda, sedang dirinya tak memiliki. Akhirnya Bung Karno berusaha keras supaya dapat membeli sebuah sepeda. Setelah sepeda yang diimpikan terbeli, Bung Karno larut dalam kebahagiaan.
“HBS terletak satu kilometer dari Gang Paneleh. Setiap anak mempunyai sepeda. Aku sendiri yang tidak. Biasanya aku membonceng dengan salah seorang kawan atau berjalan kaki," cerita Soekarno dikutip oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
"Aku mulai menabung dan menabung terus dan ketika uangku terkumpul delapan rupiah, kubeli Fongers yang hitam mengkilat, sepeda keluaran Negeri Belanda. Aku merawatnya bagai seorang ibu. Ia kugosok‐gosok. Kupegang‐pegang. Kubelai‐belai.”
Tak cuma Bung Karno saja yang merasa aneh jika seorang priayi tak memiliki sepeda. Pada masa itu, kaum bumiputra lainnya sudah mengidentifikasikan bahwa priayi selalu dihubung-hubungkan dengan sepeda. Jika tidak, maka terasa ada sesuatu yang janggal.
antan Menteri Agama era Soekarno, Saifuddin Zuhri (1919-1986) juga mengungkap hal yang sama. Semasa dirinya masih mondok di pesantren, salah seorang gurunya Kiai Khalimi yang juga seorang priayi diketahui tak begitu menyukai bersepeda.
Pertama, anggapan itu menyebar karena sang kiai tak begitu pandai naik sepeda. Kedua, Kiai Khalimi tak pernah mau membonceng. Alhasil, sang kiai sering kali memilih untuk jalan kaki. Kehadiran seorang priayi yang tak menggunakan sepeda itulah membuat murid dan masyarakat sekitar berseloroh “Priayi kok tak bisa naik sepeda?”
“Berapa kali dianjurkan agar belajar naik sepeda, namun beliau tak mau. Mengapa? Biar saudara mengerti bahwa semua orang mempunyai kekurangan dan cacat. Cuma Nabi saja yang tak punya cacat, begitulah jawabnya," ujar Saifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren (2001).
Yang menarik perhatian lagi adalah rokoknya. Beliau selalu mengisap rokok cengkeh, yang menurut anggapan masyarakat di kampungku ‘rokok priayi.’ Kadang-kadang rokok putih. Bukan rokok klembak-menyan. Anak-anak kadang-kadang nyeletuk: "Priayi kok tidak bisa naik sepeda.”
*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.