Awas, Zoom Dysmorphia Mengancam Kamu yang Suka Lama Konferensi Video

JAKARTA - Sejak pandemi COVID-19, banyak kebiasaan kita yang mulai berubah. Salah satunya adalah menyelenggarakan meeting atau rapat secara virtual.

Kebanyakan orang saat ini terpaksa menghabiskan waktu untuk melakukan pertemuan virtual. Baik untuk kebutuhan kerja, sosial, hingga interaksi yang bersifat lebih personal. Menjadikan manusia lebih banyak memandang orang lain –sekaligus diri sendiri—di layar perangkat komunikasi.

Bagi sebagian orang, aktivitas tersebut bisa dilakukan hingga berjam-jam selama sehari. Sehingga, pada sebagian orang pula, menimbulkan persepsi yang salah tentang penampilan. Beberapa kasus bahkan mengubah pandangan terhadap diri sendiri secara mendasar.

Berdasarkan laporan yang diterbitkan International Journal of Women’s Dermatology, kondisi tersebut diberi nama Zoom dysmorphua. Ini adalah gangguan dysmorphic tubuh, khususnya pada wajah. Kondisi tersebut membuat seseorang mempunyai persepsi yang salah mengenai wajah mereka.

Dalam laporan tersebut yang diterbitkan bulan Januari lalu itu, peneliti menemukan peningkatan pasien yang mencari konsultasi kosmetik pada separuh profesional medis yang disurvei. Peningkatan tersebut dibandingkan dengan waktu sebelum pandemi.

Sejumlah 86 persen dari total tenaga medis yang disurvei mengungkap bahwa pasien menjadikan panggilan konferensi video sebagai alasan untuk mengubah penampilan.

“Ketika ketergantungan pada panggilan video meningkat, kami mulai melihat dampak dari menatap diri sendiri dalam waktu yang cukup lama pada pasien dalam sebuah fenomena yang kami sebut Zoom dysmorphia,’ terang Shadi Kourosh dari Harvard Medical School, dikutip dari MedPage Today, Kamis, 3 Juni.

Menurut temuan Kourosh dan tim, peningkatan waktu di depan layar, ditambah dengan efek merasa tidak menarik akibat kamera yang menghadap ke depan, memicu respon bawah sadar yang unik pada diri seseorang.

“Di samping itu, menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial serta melihat foto orang lain yang sudah diedit, memicu perbandingan yang tidak sehat dengan gambaran diri sendiri di depan kamera –yang bagi kami sebenarnya sudah terdistorsi dan bukan refleksi yang sebenarnya,” jelas Kourosh.

Anggota Anyar Gangguan Dismorfik Tubuh

Bagi penderita Body Dysmorphic Disorder, perilaku tersebut bukanlah hal baru. Hanya saja, pandemi berhasil menciptakan cara baru bagi gejala BDD untuk terwujud dalam perilaku seseorang

Menurut pendapat Fugen Neziroglu, PhD,psikologi sekaligus direktur eksekutif dari pusat perawatan Bio Behavioral Institute, di New York, salah satu kebiasaan dari penderita BDD yakni terus-menerus mengaca.

“Membuat banyak orang mengira mereka itu narsis. Padahal justru sebaliknya. Orang-orang ini (penderita BDD, -red) merasa jelek dan ingin bersembunyi dari orang lain,” jelasnya.

Neziroglu turut menyampaikan bahwa penderita BDD juga memiliki anggapan tersendiri terkait penampilan. Bahkan, mereka pun rela menggunakan cara apa pun agar bisa mewujudkan gagasan terkait penampilannya.

“Hal tersebut dilakukan dengan operasi plastik atau menggunakan pilihan yang lebih terjangkau. Misal, terus-menerus merapikan gigi dengan kikir kuku atau memijat hidung sendiri,” pungkasnya.