Rp6,4 T Uang Negara untuk Investasi Gojek, Pertaruhan yang Layak?

JAKARTA - Dalam kurun waktu enam bulan, Telkomsel menginvestasikan dana Rp6,4 triliun di Gojek. Pertama pada November 2020 sebesar Rp2,1 triliun dan awal bulan lalu sebesar Rp4,3 triliun. Aksi ini juga menuai kritik. Sebab ada uang negara dalam investasi tersebut yang mesti dipertanggungjawabkan. 

Investasi jumbo ini disebut upaya perusahaan mengakselarasi kemajuan ekosistem digital dan berkelanjutan di Tanah Air. Baik Telkomsel maupun Gojek memaknai investasi lanjutan ini sebagai momentum memperkuat dan memperdalam kolaborasi dalam menghadirkan layanan digital komprehensif serta melahirkan lebih banyak solusi inovatif.

Seperti dijelaskan Direktur Utama Telkomsel Setyanto Hantoro, investasi ini merupakan bagian dari strategi perusahaan dalam memperkuat bisnisnya di industri digital. "Sebagai digital telco company, kami terus melakukan pengembangan berkelanjutan yang melampaui kemampuan konektivitas, dengan terus mengembangkan industri digital di Indonesia melalui kontribusi keunggulan Telkomsel dan Gojek, baik dalam bidang keahlian maupun inovasi," kata Setyanto. 

Sementara CEO Gojek Group Andre Soelistyo mengatakan pendanaan Telkomsel jelas akan mengoptimalkan sumber daya dan keahlian teknologi dari masing-masing perusahaan untuk berinovasi dan memperluas manfaat ekonomi digital bagi lebih banyak konsumen, mitra driver, dan pelaku UMKM di seluruh Indonesia. "Kami percaya sekaligus berkomitmen bahwa kemitraan ini akan mendukung percepatan transformasi digital Indonesia."

Ilustrasi (Sumber: telkomsel.com)

Mempertaruhkan uang negara

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan dana investasi yang digelontorkan Telkomsel untuk Gojek bisa dibilang uang negara. Bagaimana tidak, sejauh ini saham mayoritas Telkomsel dimiliki perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Telkom sebesar 65 persen. Sementara 35 persennya dipegang Singapore Telecommunication (Singtel).

"Uang negara ya, karena BUMN entitas negara juga. Apalagi BUMN yang sahamnya mayoritas dikuasai negara," kata Bhima dihubungi VOI

Seperti kita tahu, satu rupiah yang keluar dari kas wajib dipertanggungjawabkan. Apalagi uang yang jumlahnya triliunan rupiah. Harus ada mekanisme yang jelas dan transparan untuk menggunakannya.

Hal itulah yang justru menurut Bhima menjadi tugas komisaris BUMN, dalam hal ini PT Telkom untuk memastikan investasi perusahaan tidak buntung. "Itu justru tugas komisaris telkom untuk memastikan investasi ke perusahaan seperti Gojek menguntungkan."

Selain itu, Bhima juga bilang harus ada upaya dari Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendorong transparansi terkait investasi Telkom ke Gojek. "Apa alasannya, itungan untung ruginya, faktor risikonya seperti apa, itu harus jelas."

"Karena saya melihat Telkom ini mulai jadi perusahaan investasi bukan hanya perusahaan telco. Di mana mereka sudah mulai investasi ke startup," kata Bhima.

Seperti diketahui, Gojek sebentar lagi akan merger dengan Tokopedia membentuk perusahaan bernama GoTo. Harapannya, setelah merger maka perusahaan tersebut akan go publik. Barulah mungkin setelah itu, Telkom bisa balik modal.

"Tapi kali IPO-nya tidak berhasil, sahamnya tidak menarik bagi publik, bisa jadi investasi Telkom rugi," kata Bhima. Karena itulah, menurutnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga harus turut andil untuk audit. Kemudian pertanyaannya, apakah investasi tersebut bisa disebut layak?

Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Menguji kelayakan

Menurut Ekonom Bhima Yudhistira, untuk mengetahui untung atau rugi dari investasi Telkomsel ke Gojek tergantung dari tujuannya. "Kalau tujuannya untuk integrasi ekosistem telco dengan digital, maka uang itu jumlahnya kecil. Tapi kalau bertindak sebagai investor untuk mencari keuntungan dari selisih harga saham, berarti enggak ada bedanya dengan perusahaan modal ventura, atau perusahaan investasi."

Terkait kelayakan investasi Bhima mengatakan ada hitung-hitungannya. Salah satunya soal aset fisik yang bisa dihitung. 

"Kalau aset fisiknya besar, ketika perusahaannya bangkrut, asetnya bisa ditarik investor. Tapi kalo asetnya digital, ini salah satu risiko yang tinggi," kata Bhima.

Bhima bilang, tidak ada jaminan perusahaan digital raksasa yang bahkan sudah merger, bisa bertahan dalam waktu lama. Banyak faktor yang bisa membuat suatu perusahaan bisa menjadi tak punya nilai. "Banyak faktor, seperti kejenuhan konsumen, banyak pesain baru, ada faktor regulasi juga."

Kemudian soal investasi, Telkom juga bukan tidak punya pengalaman pahit. Salah satunya ketika Telkom melalui anak perusahaannya PT Pramindo Ikat Nusantara (PINS) menanamkan modal di PT Tiphone Mobile Indonesia (TELE). 

Alih-alih untung, justru PT Tiphone Mobile Indonesia mengalami gagal bayar obligasi ratusan miliar rupiah kepada beberapa obligor. Akibatnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan aktivitasnya di lantai bursa sejak awal Juni 2020.

*Baca Informasi lain soal EKONOMI atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian.

BERNAS Lainnya