Bicara Ngawi, Bicara Tanam Paksa
JAKARTA - Tanam paksa adalah periode paling menentukan dalam penjajahan Belanda di Nusantara. Keuntungannya melimpah. Berkat tanam paksa Belanda mampu membayar utang-utangnya. Hal berbeda justru dirasakan petani bumiputra. Di Ngawi, misalnya.
Selain memiskinkan, petani setempat begitu sengsara karena sistem tanam paksa. Dalam konteks itu, tanam paksa dianggap kejam nan korup oleh petani. Lebih lagi, sistem ini ikut menggemukkan kas pejabat bumiputra sekelas bupati.
Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel adalah siasat fiskal Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1833) pada 1930. Van Den Bosch melihat Nusantara sangat menguntungkan dari segi komoditas perkebunan jika dikelola secara masif.
Buahnya, sistem tanam paksa diberlakukan oleh pemerintah Belanda untuk mengeksploitasi sumber daya alam Hindia-Belanda (Indonesia). Semua dilakukan demi kepentingan Kerajaan Belanda.
Tentang tanam paksa
Pendekatan tanam paksa era itu juga bertujuan menekan pengeluaran di tanah jajahan sekaligus melunasi utang imbas besarnya pengeluaran Perang Jawa (1825-1830). Untuk mengakali itu, petani bumiputra dibebaskan dari pajak tanah.
Sebagai gantinya petani harus menanam tanaman ekspor milik Belanda pada seperlima luas tanahnya. Atau sebagai alternatif petani dapat bekerja selama 66 hari setiap tahun di perkebunan-perkebunan milik pemerintah kolonial. Awalnya, komoditas yang ditanam hanya tebu. Dari tebu, meluas ke yang lain.
“Berkembangnya tanaman tebu hampir di seluruh Jawa dan mulai dikenalkannya penggilingan tebu dan pendirian pabrik gula di Cirebon tahun 1830, menyusul di beberapa wilayah lainnya," tertulis dalam buku yang disusun WALHI Indonesia, Java Collapse: Dari Kerja Paksa Hingga Lumpur Lapindo (2010).
"Pada perkembangan berikutnya, tanaman wajib tak cuma tebu, tetapi juga komoditas bernilai di pasaran Eropa (1850), seperti kopi, cengkeh, kayu manis, kehutanan, karung goni, nila, ternak, nopal, cochineal, lada, beras, sutera, gula, teh dan tembakau. Komoditas ini dibutuhkan dan dijadikan pengembangan dari tanaman tebu pada awal tanam paksa.”
Sistem tanam paksa berlangsung tahun --antara 1830-1870. Dampaknya besar bagi bangsa Indonesia, terutama para petani jelata. Mereka jadi kelompok paling sengsara. Bahkan lebih sengsara daripada kaum bumiputra zaman kongsi dagang Belanda, VOC berkuasa.
“(Sindiran) Orang Sunda biasa mengatakan: Orang lahir, kawin, dan mati di ladang tom. Sebagai besar rakyat Indonesia tidak sempat mengurus ladangnya sendiri karena penyelewengan dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan Cultuurstelsel, dan kesengsaraan makin bertambah besar karena adanya sistem: pemberian hadiah (Cultuurprocenten). Di antara rakyat yang tidak tahan, lari meninggalkan kampung halamannya dan mengganggu keamanan,” tulis G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad Ke-20 (1988).
Sengsaranya petani Ngawi
Dalam peta Nusantara, Ngawi jadi salah satu daerah yang petaninya paling sengsara karena sistem tanam paksa. Apalagi, pemerintah kolonial di Ngawi melibatkan langsung pangreh praja –pejabat bumiputra— sekelas bupati dalam melanggengkan tanam paksa.
Cara kerjanya, pemerintah Belanda menekan pangreh praja. Selanjutnya pangreh praja memerah petani. Belanda untung, para bupati juga ikut kecipratan 'rekening' gemuk. Sementara, petani di Ngawi tetap pada posisi paling sengsara.
Para bupati, oleh Belanda diberikan kekuasaan turun-temurun, luasan tanah, seperangkat pelayan, perlengkapan keprajuritan, dan pelindungan khusus. Balasannya, mereka harus memperkenalkan dan menggalang dukungan bagi penanaman –sistem tanam paksa— di Ngawi, dengan melakukan mobilisasi rakyatnya.
Bagi penguasa bumiputra di Ngawi hal itu cukup mudah. Lantaran sistem perdesaannya di Ngawi telah terbentuk atas kehendak pihak kolonial. Sistem perdesaan itu terdiri dari unit-unit sistem dari beberapa kelompok tani, yang mana mereka membentuk suatu wilayah kecil. Hingga akhirnya membentuk apa itu yang dinamakan desa.
“Hal yang lebih menarik lagi soal pertanian dan perdesaan di Karesidenan Madiun, yang di dalamnya terdapat Ngawi adalah sistem institusi kepemilikan tanah yang berlaku di masa itu diciptakan oleh adanya selisih yang menganga antara kesediaan lahan dan sedikitnya tenaga kerja," tulis Budi Sulistyono Kanang dalam buku Meniti Jati Diri Ngawi (2020).
"Oleh karena itu, tidak heran jika terdapat banyak penguasa tanah di masa itu. Penghitungan kekuasaan juga dilakukan berdasar keluarga petani yang secara garis historis lebih dekat dengan penguasa daerah ketimbang penguasa pendatang baru, seperti Hindia Belanda.”
Ketika Hindia Belanda pada akhimya dapat 'mencengkeram' Ngawi, pola tanam paksa juga terseret di dalam pergolakan daerah. Imbasnya, lompatan demografis pun tak terhindarkan.
Dalam situasi seperti itu rakyat Jawa, termasuk Ngawi mengalami lonjakan penduduk diselingi dengan tragedi tanam paksa. Seiring itu, kemiskinan dan kesengsaraan melingkupi para kaum tani di Ngawi. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan nasib penguasa pribumi yang justru menikmati pundi-pundi kekayaan di atas penderitaan rakyatnya.
Pejabat bumiputra foya-foya
Salah satu faktor kekuasaan pejabat bumiputra –Bupati-- Ngawi dalam sistem tanam paksa adalah pendapatannya, termasuk hak atas penduduk. Pendapatan bupati terdiri dari tiga bagian. Pertama, pendapatan dari tanah, melingkupi hak atas kerja bakti hingga pelayanan dari penduduk. Kedua, uang bulanan dari Belanda. Ketiga, persentase sistem tanam paksa.
Sejarawan Ong Hok Ham mengatakan pendapatan itu berawal dari Belanda yang mulai mengambil alih daerah Mancanegara Timur selepas berakhirnya Perang Jawa pada 1830. Para bupati di Karesidenan Madiun, termasuk Ngawi diizinkan Belanda atas tanah tanpa membayar dalam bentuk sewa dan uang.
Tujuannya, supaya mereka mau menempati tanah yang sebagian memang belum diolah. Bupati lalu mendapatkan banyak pundi-pundi pendapatan dari upeti dalam bentuk beras atau hasil lainnya untuk keperluan sehari-hari. Ditambah lagi dari pendapatan hak atas kerja bakti, dan pengabdian lain pada wilayah kekuasaannya.
Cara seperti itu dilakukan belanda sebagai bentuk langkah politis untuk mempertahankan kemegahan dan prestise bupati Ngawi. Terutama, secara ekonomis untuk memastikan keberhasilan sistem Tanam paksa.
Selain itu, kerabat-kerabat bupati juga akan terpuaskan oleh kepemilikan tanah dan jaminan atas ketenteraman, alih-alih hidup dalam dunia penuh intrik. Mereka kemudian foya-foya, memersunting banyak wanita, dan hidup bermewah-mewahan laksana Raja Jawa.
“Di pihak lain, para Bupati Madiun, terutama bupati-bupati yang kuat seperti Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, dan Pacitan, mempertahankan gaya hidup yang megah seperti halnya bupati-bupati kaya di pantai utara," tutup Ong Hok Ham dalam disertasi yang dibukukan, Madiun Dalam Kemelut Sejarah (2018).
"Dalam kondisi keuangan mereka yang ketat, mereka tidak akan membayar jasa untuk pengerjaan sawah, peternakan, atau tenaga kerja yang melayani gaya hidup mereka, karena mereka harus menyelenggarakan pesta dan menjamu tamu-tamu Eropa dan masyarakat. Rata-rata, sebuah kabupaten yang besar membutuhkan lebih dari 2.000 pikul beras per tahun, rumput untuk kuda, kayu bakar, dan lain-lain."
*Baca Informasi lain soal PENJAJAHAN BELANDA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.