Pemerintah Diminta Perketat Pengawasan Industri Tambang

JAKARTA - Pengamat kebijakan hukum kehutanan dan konservasi dari Universitas Indonesia (UI) Budi Riyanto menilai pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap industri pertambangan. Jangan sampai ada kesan lepas tangan sebagai regulator.

Hal ini disampaikan Budi menanggapi langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan PT RBT, PT SIP, PT TIN, PT SB dan CV VIP sebagai tersangka korporasi dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada 2015-2022. Dia menyoroti kelima perusahaan itu sebenarnya punya izin resmi sehingga harusnya diawasi pemerintah.

"Pertanyaannya, siapa sih yang harus bertanggung jawab ini? Jangan terus pemerintah lepas tangan begitu saja, tetapi dia sebagai regulator pengawas. Apalagi dari korporasi itu kan ada izin, ada izin yang masih hidup berarti ada pengawasan," kata Budi kepada wartawan yang dikutip Sabtu, 4 Januari.

Budi bahkan meragukan penghitungan kerugian negara yang menjadi dasar bagi Kejagung menetapkan lima tersangka korporasi tersebut. Sebab, masalah kerusakan lingkungan punya paramater sendiri dan harusnya dihitung secara holistik.

"Tidak bisa secara parsial rusaknya air begini, rusak tanahnya begini, tanamannya begini. Tapi harus secara holistik. Scientific authority itu kalau kita dulu LIPI sekarang diganti BRIN," tegasnya.

"Soal BRIN ini nantinya akan mengundang para ahli di Bogor nantinya silakan. Jadi jangan pendapat orang per orang langsung dijadikan dasar tuntutan. Itu yang berbahaya menurut saya," sambung pengamat ini.

Ahli hukum pertambangan, Abrar Saleng juga menyoroti penetapan tersangka korporasi ini. Menurutnya, Kejagung seakan mempersoalkan aktivitas perusahaan tambang yang sudah memiliki izin.

"Penambang-penambang yang punya izin yang dipersoalkan justru yang ilegal enggak dipersoalkan. Padahal yang ilegal itu, itu tidak, tidak ada, tidak ada tanggung jawab lingkungannya, tidak ada tanggung kewajiban juga pada negaa," ungkapnya secara terpisah.

Lagipula, kebanyakan kasus tambang biasanya akan diselesaikan secara administratif bukan perdata jika ada pelanggaran. Kemudian, kasus ini biasanya ditangani polisi dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dari Kementerian ESDM bukan dari lembaga atau sekadar hitungan ahli.

"Kalau khusus dunia pertambangan diragukan (penghitungan ahli, red) karena orang tambang juga bisa menghitung kerugian lingkungan, bukan cuma orang pertanian," pungkas Abrar.