Memori FPI Razia Hiburan Malam dan Miras
JAKARTA - Front Pembela Islam (FPI) jadi salah satu ormas yang paling populer di Indonesia. Kepopulerannya tak lain karena gebrakan besarnya merumuskan Amar makruf nahi mungkar. Mengajak ke kebaikan dan menjauhi keburukan.
Tindak tinduk itu diperlihatkan lewat aksinya di masyarakat. Mereka jadi pembela masyarakat yang termarginalkan – korban penggusuran. Namun, ada pula aksi yang mencoreng nama FPI buruk di masyarakat. Aksi itu kala FPI dianggap menggunakan kekerasan kala razia hiburan malam.
Amar makruf nahi mungkar. Itulah salah satu pegangan utama kaum alim ulama mendirikan FPI pada 17 Agustus 1998. FPI pun bertumbuh jadi organisasi yang ingin menegakkan nilai-nilai Islam di dalam kehidupan sosial.
Mereka mencoba merekam bagaimana Islam kerap berpihak kepada rakyat kecil dan orang terkena musibah. FPI bak berperan sebagai pembela utama masyarakat yang termarjinalkan. Mereka banyak membantu kala bencana terjadi di pelosok negeri.
FPI kerap turun tangan memberika bantuan, logistik dan tenaga. Kadang kala kehadiran FPI bisa selangkah lebih cepat dibanding kehadiran pemerintah. Kala Aceh dilanda bencana tsunami hebat pada 2004 jadi contohnya. FPI jadi ormas pertama yang hadir di Aceh.
Baca juga:
Anggota FPI yang jadi relawan bencana pun bejibun. Mereka datang memberikan bantuan tenaga membantu penanganan bencana sehabis tsunami. Mereka memberikan bantuan logistik. Mereka juga membantu mencari jenazah korban tsunami di antara puing-puing kehancuran.
Mereka pula yang menyalatkan jenazah dan menguburnya. Aksi itu mendapatkan pujian dari banyak pihak. Namun, agenda kemanusiaan FPI tak melulu urusan bencana. Mereka aktif terlihat kala pemerintah Jakarta mencoba menggusur pemukiman rakyat kecil –tak harus umat Islam.
FPI siap sedia berdiri membantu rakyat. Mereka pun ikut memberikan pendampingan hukum. Bagi FPI pemimpin yang menggusur rakyat kecil tak layak dipilih. Apalagi, memimpin warga Jakarta. Kondisi itu karena penggusuran banyak bawa mudarat ketimbang manfaat.
“Bantuan semacam ini juga diberikan Habib kepada orang nonmuslim yang memerlukan bantuan untuk urusan sengketa tanah. Karena berkenaan dengan masalah hukum, maka Habib menyerahkannya ke lini bantuan hukum FPI.”
“Jika Banser biasa membantu menjaga gereja, maka hal serupa juga dilakukan FPI. Setelah kasus bom Istiqlal, Habib memerintahkan laskar untuk menjaga gereja-gereja. Hal ini diperintahkan Habib sebab melihat hal tersebut sangat sensitif dan bisa memancing berbagai kemungkinan,” ungkap Fikry Muhammad dalam buku Sisi Lain Habib Rizieq (2017).
Kontroversi FPI
Tiada ormas yang sempurna. Begitu pula dengan FPI. Tindak-tanduk FPI dikenal luas memang bukan melulu dari aksi cepat tanggapnya membela wong cilik. Akan tetapi, aksi FPI juga dilakukan dengan langkah-langkah kontroversial.
FPI bak memiliki pikiran bahwa upaya menegakkan nilai-nilai Islam tak bisa ditunda. Urusan caranya dengan kekerasan lain soal. Kondisi itu membuat FPI jadi ormas yang aktif merazia tempat-tempat maksiat, hiburan malam atau bar yang menyediakan miras.
Mereka datang dan segera membuat gaduh hingga menghancurkan tempat yang dianggap sarang maksiat. Kondisi itu sempat pula menyeret imam besar FPI, Rizieq Shihab ke penjara karena kasus razia hiburan malam pada 2003.
Kasus-kasus razia FPI itu mencuat ke mana-mana. Kondisi itu membuat nama FPI di kenal sebagai ormas yang getol menegakkan nilai Islam dengan cara keras. Gema popularitas FPI tak hanya di Jakarta saja, tapi skala Nusantara.
Namun, tak sedikit yang beranggapan aksi kontroversi FPI razia hiburan malam hanya sebuah dalih mendapatkan keuntungan. Kondisi itu karena FPI bak memilih sasaran yang dirazia. FPI tak pernah merazia klub atau bar yang dilindungi ormas lainnya.
“FPI menjadi pemain baru dalam ekonomi proteksi yang ruwet di Jakarta, menggunakan dalih membela iman sebagai sarana untuk memungut setoran dan ‘pajak haram’ dari berbagai bisnis legal dan kotor, sejenis centeng moralitas yang mengambil untung dari keberadaan ‘maksiat’ yang katanya hendak dienyahkannya.”
“Pilihan sasaran razia FPI sungguh diperhitungkan, sedangkan klub, bar, atau tempat bordil yang dimiliki atau dilindungi militer, ormas, atau tokoh-tokoh kuat lain mereka biarkan. Hubungannya dengan polisi pada tingkat lokal kerap naik-turun antara kerjasama dan konflik. Kegiatan anti-maksiatnya mengancam setoran yang didapat polisi dari rumah bordil atau rumah judi,” ujar Ian Douglas Wilson dalam buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018).