Pilkada Ditunjuk DPRD: Menjauhkan Pemimpin dari Rakyat, Hanya Memindahkan Politik Uang
JAKARTA – Pemerintah diminta harus berhati-hati dalam mewacanakan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini, kata pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago, bisa menjadi bencana besar bagi demokrasi Indonesia.
Sebelumnya Presiden Prabowo Subianto menyampaikan gagasan tentang perbaikan sistem politik di Indonesia. Alasannya karena pilkada langsung menelan biaya tinggi dan tidak efisien jika dibandingkan negara-negara tetangga.
Opini serupa juga disampaikan Wakil Ketua Badan Anggaran atau Banggar DPR Jazilul Fawaid yang mengusulkan agar pilkada di tingkat provinsi untuk memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dilakukan melalui DPRD masing-masing provinsi bukan lagi dipilih oleh rakyat secara langsung karena berbiaya mahal.
Namun wacana pilkada dipilih oleh DPRD demi menekan biaya dibantah oleh pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago. Menurut Pangi, sistem pemilihan seperti ini juga berpotensi membuat pejabat tidak turun ke rakyat.
“Nanti akan terjadi lagi pejabat yang tidak turun ke rakyat, selama ini kan rajin menyapa rakyat karena butuh suara,” ujar Pangi saat dihubungi VOI.
Perlebar Jarak Pemimpin dan Rakyat
Sebelum 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pilkada.
Untuk pertama kalinya pilkada langsung diselenggarakan pada Juni 2005. Sejak saat itu, masyarakat Indonesia memiliki kesempatan memilih kepala daerah sesuai kehendak mereka melalui proses yang demokratis.
Hampir 20 tahun berlalu, tiba-tiba muncul wacana supaya sistem pilkada kembali ke masa sebelum reformasi, yaitu dipilih oleh DPRD. Salah satu alasannya karena biaya politik pilkada langsung tinggi.
Tapi wacana ini menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan usulan ini ibarat kain sarung.
“Jadi ini muter-muter saja. Dulu karena bosan ingin pilkada langsung, ingin dipilih rakyat. Sekarang kembali lagi ditunjuk DPRD. Pikirannya lompat-lompat, enggak matang,” ucap Pangi.
Baca juga:
- PPN 12 Persen Hanya untuk Barang dan Jasa Mewah: Kelas Menengah Kena Imbas, Masyarakat Kembali Dibodohi
- Dipecat PDIP, Pembuktian Bahwa Jokowi Tidak Istimewa
- Drama Politik Presiden Yoon Suk-yeol Pertaruhkan Industri Pariwisata Korea Selatan
- Kontroversi Darurat Militer yang Berujung Pemakzulan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol
Pangi menambahkan, kepala daerah yang ditunjuk oleh DPRD justru berpotensi memperlebar jarak antara pejabat dan rakyat. Ia meramalkan tidak ada lagi kegiatan blusukan yang biasa dilakukan calon kepala daerah untuk mendekati rakyat, karena suara mereka tidak dibutuhkan lagi.
“Nanti terjadi lagi pejabat yang tidak turun ke rakyat. Selama ini mereka rajin menyapa karena butuh suara,” kata Pangi lagi.
“Besok-besok pejabat tidak menyerap aspirasi karena tidak butuh suara rakyat, sehingga menghasilkan pemimpin yang enggak pro rakyat, enggak membumi. Ini musibah terbesar dan hal ini enggak terpikirkan oleh Prabowo,” imbuhnya.
Butuh Pemikiran yang Hati-hati
Wakil Ketua Banggar DPR Jazilul Fawaid menjelaskan alasan agar pasangan gubernur dan wakil gubernur dipilih melalui DPRD masing-masing provinsi karena pilkada langsung berbiaya mahal. Ia menyebut tingginya biaya pemilihan gubernur terlihat pada Pilkada 2024.
Ia mencontohkan pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp1 triliun untuk Pilkada Jawa Barat saja, belum lagi ditambah biaya pemilihan gubernur di wilayah lainnya.
Alih-alih mengubah sistem pilkada, Pangi berujar pemerintah seharusnya memperbaiki sistem yang sudah berjalan untuk menurunkan biaya pemilu. Ia justru menyangsikan perubahan sistem pilkada akan benar-benar menghapus money politic. Menurut Pangi jika pilkada dilakukan oleh DPRD, ia justru melihat adanya potensi politik transaksional di DPRD
“Yang harus diharus diperbaiki ya soal money politic, dicari bagaimana solusinya tanpa harus merusak sistem,” tegasnya.
“Dengan sistem pilkada dipilih oleh DPRD saya tidak yakin tidak ada vote buying. Selama ini kan biaya politik disebar ke rakyat, nanti ya hanya pindah saja uangnya,” Pangi menjelaskan.
Untuk itu, Pangi berharap pemerintah harus memikirkan hal ini dengan penuh kehati-hatian, jangan sekali berpikir langsung gerak karena yang dihadapi adalah isu besar sekelas pilkada.
“Butuh kontemplasi, renungan, kajian, apa saja kelemahan dan kelebihannya. Ini pemikiran yang emosional, padahal kita butuh sistem yang settle yang konsisten, tidak berubah-ubah,” katanya.
“Ini seperti politik kain sarung. Nanti setelah 20 tahun akan bosan, akan rindu lagi dipilih rakyat langsung,” kata Pangi menyudahi.