Terlunta-lunta Warga Gaza dari Utara ke Selatan Mencari Perlindungan hingga ke Pemakaman
JAKARTA - Bertubi-tubi serangan Israel di Gaza, bukan hanya meluluhlantakan bangunan hingga nyawa melayang. Mereka yang bertahan kini terlunta-lunta, tanpa adanya jaminan keamanan dan pasokan makanan.
Setelah lebih dari setahun dalam peperangan, Abu Razzak Al-Qassas dan keluarganya tinggal di tempat penampungan sementara di dalam pemakaman di Jalur Gaza selatan. Mereka bergantung pada sumbangan makanan untuk bertahan hidup.
Keluarga Al-Qassas, yang berasal dari Kota Gaza di bagian utara wilayah pesisir, termasuk di antara banyak pengungsi lainnya yang tinggal di pemakaman Khan Younis.
“Lihatlah betapa menakutkan dan menakutkannya anak-anak. Lihat bagaimana kami hidup, tidak ada makanan dan air,” kata Al-Qassas sambil menunjuk nisan kuburan dilansir Reuters, Selasa, 29 Oktober.
Sebagian besar dari dua juta orang di Gaza telah mengungsi akibat serangan Israel yang tiada henti di jalur tersebut. Beberapa di antaranya, seperti keluarga Al-Qassas, yang rumahnya rusak parah, harus pindah lebih dari satu kali.
Jumlah bantuan yang masuk ke Gaza anjlok dan terjadi kekurangan makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar yang parah. Israel sering menyalahkan lembaga bantuan karena gagal mendistribusikan bantuan di Gaza.
Sementara Amerika Serikat telah memperingatkan sekutunya Israel untuk memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza atau menghadapi kemungkinan pembatasan bantuan militer AS.
Kelaparan merajalela dan banyak orang tinggal di tenda-tenda dan tempat berlindung sementara yang terbuat dari terpal dan selimut compang-camping yang sepertinya tidak bisa melindungi mereka dari kerasnya musim dingin yang akan mereka hadapi.
Keluarga Al-Qassas hidup dari roti yang dihangatkan dengan api terbuka, keju, serta campuran rempah-rempah dan gandum.
“Anak-anak saya tidak punya apa-apa untuk dimakan atau diminum. Mereka menangis sepanjang malam. Mereka ingin makanan. Dari mana saya bisa mendapatkannya?”, kata Al-Qassas, seraya menyebut pasar dan penyeberangan perbatasan ditutup.
Perang tersebut dipicu ketika militan dari kelompok Islam Palestina Hamas menyerbu ke Israel selatan pada 7 Oktober 2023, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 250 orang lainnya di Gaza, menurut penghitungan Israel.
Bersumpah untuk menghancurkan Hamas dan membebaskan para sandera, serangan balasan Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 43.000 orang, kata para pejabat kesehatan.
Upaya internasional yang berulang kali dilakukan untuk mengakhiri perang telah gagal.
“Tidak ada kehidupan lagi di seluruh Jalur Gaza, baik di utara maupun di selatan,” kata istri Al-Qassas, Ghada.