Kabut Pelanggaran HAM Polri dalam Kasus Unlawfull Killing
JAKARTA - Kepolisian RI menjadi sorotan publik lantaran dianggap melanggar HAM dalam melakukan penindakan, salah satunya terkait kasus pembunuhan dan penganiayaan terhadap 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI).
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik menyebutkan, Kepolisian RI menjadi institusi paling banyak diadukan terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Komnas HAM mencatat, sebanyak 1.992 pengaduan masyarakat disampaikan ke Komnas HAM selama rentang tahun 2016 hingga 2020. Pengaduan ini meliputi lambatnya penanganan kasus, kriminalisasi, penganiayaan, dan proses hukum tidak sesuai prosedur.
“Kepolisian menjadi pihak tertinggi karena ada kasus maupun yang dituduh melanggar HAM. Namun penanganan yang dilakukan Polri tidak tepat,” ujar Ahmad Taufan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 6 April.
Meski demikian, Ahmad mengatakan Kepolisian RI menjadi institusi paling responsif ketika Komnas HAM meminta penjelasan adanya aduan dugaan pelanggaran HAM.
"Misalnya kasus Herman di Kalimantan Timur, Kapolda datang langsung ke Komnas HAM untuk menjelaskan dan pelaku dikenakan tidak hanya etik namun dikenakan penegakan hukum,” ungkapnya.
Menurutnya, catatan Komnas HAM tersebut perlu menjadi perhatian khusus Polri agar kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat dalam menegakkan HAM.
Baca juga:
Kasus KM 50
Kasus unlawful killing terhadap 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Cikampek KM 50 pada 7 Desember 2020 lalu, masih menjadi misteri.
Pada 8 Januari 2021, Komnas HAM telah melaporkan hasil penyelidikan, di mana menyimpulkan bahwa penembakan tersebut merupakan pelanggaran HAM.
Menurut Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam penembakan 6 laskar merupakan unlawful killing sebab dilakukan tanpa upaya menghindari jatuhnya korban oleh aparat kepolisian.
Bareskrim Polri telah menaikkan status perkara unlawful killing dari penyelidikan ke penyidikan pada Rabu, 10 Maret.
Sejak saat itu, 3 anggota Polda Metro Jaya masih menjadi terlapor kasus pembunuhan dan penganiayaan 6 anggota laskar FPI yang terjadi pada 6-7 Desember 2020 di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.
3 anggota Polda Metro Jaya tersebut telah dibebastugaskan untuk keperluan penyidikan. Ketiganya dikenakan Pasal 338 jo Pasal 351 KUHP tentang pembunuhan dan penganiayaan.
Dari 3 polisi tersebut, salah satunya, yakni Ipda Elwira Priyadi Zendrato, dikabarkan meninggal dunia pada 4 Januari 2021, sehari setelah mengalami kecelakaan tunggal pada 3 Januari 2021.
Namun, berita tentang kematiannya baru disampaikan oleh polisi pada tanggal 26 Maret 2021, di tengah-tengah proses pengusutan kasus unlawful killing 6 anggota Laskar FPI.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono, Ipda Elwira Priyadi Zendrato mengalami kecelakaan tunggal di Jalan Bukit Jaya, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten, sekitar pukul 23.45 WIB.
Saat itu, kata Rusdi, Ipda Elwira mengendarai sepeda motor jenis Honda Scoopy. Ipda Elwira dinyatakan meninggal dunia sehari setelah kecelakaan.
"Kemudian pada tanggal 4 Januari 2021 sekitar pukul 12.55 WIB, yang bersangkutan (Ipda Elwira) dinyatakan meninggal dunia," kata Rusdi.
Dalam akte kematian yang diperlihatkan Rusdi, perwira Polri tersebut bernama Elwira Priyadi Zendrato, lahir 9 Mei 1983.
Dalam fotonya yang beredar di media sosial, Ipda Elwira dimakamkan secara Kristen.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) M. Choirul Anam meminta Kepolisian menjelaskan secara rinci terkait kematian anggota Polri yang menjadi terduga penembak Laskar FPI dalam kasus pembunuhan di luar hukum atau unlawful killing.
"Kami berharap kepolisian menjelaskan lebih detail kepada publik agar tak bertanya-tanya," ujar Choirul Anam dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 6 April.
Choirul mengaku, banyak pertanyaan dari masyarakat kepada Komnas HAM mengenai kematian satu orang terduga penembak empat Laskar FPI, Elwira Priyadi Zendrato. Apakah, kematiannya normal atau tidak.
Sebab kata Choirul, berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, kematian Elwira tidak mengganggu konstruksi peristiwa penembakan empat Laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada Desember 2020.
"Kematian Elwira, berdasarkan penyelidikan Komnas HAM tidak ganggu konstruksi peristiwa. Semua keterangan sudah kami dapatkan karena sudah kami periksa dua kali secara mendalam," ungkapnya.
Hasil investigasi Komnas HAM menyebutkan ada dua rangkaian peristiwa di balik kasus tewasnya 6 laskar FPI. Satu di antaranya soal penembakan yang terjadi di sekitar KM 50 Jalan Tol Cikampek. Saat itu, sebanyak empat orang laskar FPI yang tadinya dalam keadaan hidup kemudian ditemukan tewas.
Rangkaian pertama soal KM 50 ke atas. Terdapat empat anggota laskar FPI yang masih hidup dalam penguasaan petugas resmi negara kemudian ditemukan tewas. Sehingga peristiwa itu merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Kemudian, penembakan sekaligus empat orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain untuk menghindari jatuhnya korban jiwa mengindikasikan ada tindakan unlawful killing terhadap laskar FPI.
Choirul mengatakan, Komnas HAM sudah mengingatkan Kepolisian agar bekerja secara akuntabel. Kemudian, akuntabilitas itu perlu tercermin dengan manajemen penegakan hukum bukan pengelolaan isu.
"Bolak balik kita ingatkan itu," katanya.
Dia mencontohkan pengelolaan isu yang dilakukan Polri terkait pengumuman enam Laskar FPI sebagai tersangka, padahal sudah meninggal. Lalu dua hari kemudian penetapan itu dicabut.
"Itu contoh manajemen isu bukan penegakan hukum. Lalu Elwira tiba-tiba diumumkan meninggal. Padahal proses hukum adalah pemeriksaan sebagai saksi baru diumumkan substansi " paparnya.
Komnas HAM, tambah Choirul, bahkan telah meminta diagendakan pertemuan di Bareskrim terkait kasus ini. Akan tetapi, hingga saat ini belum terjadwal lantaran masih ada rapat kerja.
"Beberapa kali kami bilang, tolong manajemen penegakan hukum akuntabel sehingga di publik prosesnya menjadi firm dan lebih bagus. Itu yang selalu kami komunikasikan kepada direktur tindak pidana umum. Karena ini terlalu lama kami mendesak agar prosesnya jalan dengan baik," tandasnya.
Bareskrim Polri menetapkan tiga anggota Polda Metro Jaya sebagai terlapor dalam perkara unlawful killing.
"3 orang (anggota Polda Metro). Kalau di unlawful killing itu artiya adalah anggota Polri yang membawa 4 orang (laskar FPI)," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian kepada VOI, Kamis, 4 Maret.
Penetapan berdasarkan hasil penyelidikan serta berdasarkan laporan polisi (LP) yang sudah dibuat pada pekan lalu. Hanya saja tak dijelaskan rinci laporan tersebut.
Bareskrim Polri menggunakan pasal pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian dalam perkara unlawful killing enam laskar Front Pembela Islam (FPI). Dalam perkara ini, Polda Metro Jaya menetapkan tiga anggota sebagai terlapor.
"(Menggunakan) Pasal 338 jouncto 351 ayat (3) KUHP," kata Andi.
Dalam laporan polisi (LP) di perkara ini, penyelidik bakal mencari bukti awal. Hingga nantinya, ditingkatkan ke proses penyidikan untuk menetapkan tersangka.
"Tentang pembunuhan dan penganiayaan yang mengakibatkan mati," kata dia.
Sebagai informasi, Pasal 338 KUHP berbunyi 'barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun'.
Sementara, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan di mana pada ayat (3) berbunyi 'jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun'.
Meski, telah menetapkan tiga anggota Polda Metro Jaya sebagai tersangka perkara unlawful killing penembakan laskar FPI, tapi mereka belum ditahan.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono mengatakan keputusan penahanan merupakan kewenangan penyidik. Tentunya dengan alasan subjektif dan objektif.
"Enggak (belum ditahan). Ini kan masih kita lihat, apakah tersangka ditahan, nanti akan dilanjutkan oleh penyidik dengan mempertimbangkan. Penyidik punya pertimbangan subjektif dan objektif," kata Brigjen Rusdi kepada wartawan, Selasa, 6 April.
Inisial untuk dua tersangka perkara ini pun belum dibuka. Sejauh ini, hanya satu tersangka yakni EPZ yang identitasnya disebutkan usai meninggal dunia karena kecelakaan tunggal.
"Nanti disampaikan (inisial dua tersangka)," kata Rusdi.