Peran Wartawan dalam Menjaga Perdamaian di Daerah Konflik

SEMARANG — Wartawan memiliki peran krusial dalam meredakan konflik. Namun, jika tidak berhati-hati, mereka juga bisa memperburuk situasi. Untuk memastikan pesan perdamaian tersampaikan dengan baik, wartawan tak hanya membutuhkan niat dan tekad, tetapi juga keterampilan jurnalistik yang memadai.

Pesan ini menjadi sorotan dalam Workshop Jurnalisme Damai yang digelar oleh United Tractors Group di Hotel Tentrem, Semarang, Selasa malam, 22 Oktober 2024. Acara bertema "Merajut Keberagaman, Menjunjung Kesatuan, dan Menjaga Perdamaian untuk Berkelanjutan" ini diikuti oleh 50 wartawan dari media nasional dan lokal Jawa Tengah.

Workshop tersebut dibuka oleh Corporate Secretary United Tractors, Sara K. Loebis, dan menghadirkan pembicara Duta Besar Dino Patti Djalal serta wartawan senior Metro TV, Desi Fitriani. Teguh Santosa, Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), bertindak sebagai moderator.

Dino Patti Djalal saat menyampaikan materi. (IST)

Dino Patti Djalal memulai diskusi dengan memaparkan tujuh peristiwa penting dalam sejarah diplomasi Indonesia, yang menunjukkan bagaimana negeri ini berhasil menangani konflik, baik di dalam maupun luar negeri. Salah satu contohnya adalah keberhasilan Indonesia mendapatkan kedaulatan atas Irian Barat dari Belanda pada 1962 serta upaya perdamaian di Kamboja tahun 1991.

"Saya belajar dari Ali Alatas, beliau adalah seorang negarawan yang bekerja untuk perdamaian tanpa mencari kredit pribadi. Pelajaran penting yang saya dapatkan adalah dedikasi tulus untuk perdamaian," ujar Dino.

Namun, Dino juga menyoroti beberapa kasus yang gagal karena persiapan yang kurang matang dan tindak lanjut yang tidak memadai.

Sementara itu, Desi Fitriani berbagi pengalamannya meliput konflik di berbagai wilayah, termasuk Gaza, Palestina; Mindanao, Filipina; Timor Leste; Papua; dan Aceh. Ia menekankan pentingnya pemahaman mendalam terhadap akar konflik dan aktor-aktor yang terlibat.

"Ketika meliput konflik, wartawan harus benar-benar memahami dinamika yang terjadi. Ini penting agar liputan yang dihasilkan bisa lebih objektif dan informatif," ujar Desi.

Desi juga mengingatkan bahwa meliput konflik sering kali menempatkan wartawan dalam dilema, karena sulitnya menjaga netralitas di tengah kepentingan berbagai pihak.

Menutup diskusi, Teguh Santosa menyoroti persepsi yang keliru dalam liputan konflik, yakni anggapan bahwa konflik harus berakhir dengan kemenangan salah satu pihak.

"Wartawan perlu menghilangkan pandangan ini dan melihat konflik dari perspektif yang lebih humanis. Selain itu, kemampuan menulis dan melaporkan juga harus terus ditingkatkan," jelas Teguh, yang juga dosen hubungan internasional di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.