Terbitnya SP3 Untuk Pertama Kali yang Justru Dianggap Efek Buruk Revisi UU KPK
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menghentikan penyidikan terhadap kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hanya saja, penghentian penyidikan untuk yang pertama kalinya ini mendapatkan sorotan dari banyak pihak.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, penghentian penyidikan ini adalah efek dari revisi UU KPK yang terjadi pada 2019 lalu. Pemberlakuan UU Nomor 19 Tahun 2019 yang dianggap menguntungkan para pelaku tindak pidana korupsi.
"Perlahan, namun pasti, efek buruk dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 semakin menguntungkan pelaku korupsi. Selain proses penindakan yang kian melambat, kali ini KPK justru menghentikan perkara besar dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 3 April.
Kewenangan KPK melakukan penghentian penyidikan atau menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diatur Pasal 40 UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 juga dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 2004 lalu. Kurnia mengatakan, saat itu, MK menegaskan KPK tak berwenang mengeluarkan SP3 demi mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Alasannya, penerbitan SP3 sangat mungkin menjadi bancakan korupsi dengan pola yang begitu beragam. "Misalnya, negoisasi penghentian perkara dengan para tersangka, atau mungkin lebih jauh, dimanfaatkan oleh pejabat struktural KPK untuk menunaikan janji ketika mengikuti seleksi pejabat di lembaga anti rasuah tersebut," ungkapnya.
Baca juga:
Alih-alih menghentikan penyidikan, KPK harusnya mendapatkan keterangan dari dua tersangka dalam kasus ini yaitu pasangan suami istri pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia, Sjamsul dan Itjih Nursalim. Hal ini harus dilakukan demi melihat kesempatan meneruskan penanganan perkara.
Kurnia juga mendorong KPK segera melimpahkan berkas pada Jaksa Pengacara Negara sehingga gugatan perdata seperti yang diatur dalam Pasal 32 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini penting dilakukan untuk mendapat pertanggungjawaban dari Sjamsul Nursalim atas tindakannya yang telah merugikan perekonomian negara hingga triliunan rupiah.
"Jika gugatan ini tidak segera dilayangkan maka pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya di masa mendatang," ujarnya.
Selain itu, dia juga meminta KPK untuk menekankan jika penghentian ini bukan artinya menutup kemungkinan menjerat Nursalim. "Sebab, Pasal 40 ayat (4) UU KPK menjelaskan bahwa SP3 dapat dicabut saat ditemukan adanya bukti baru dan putusan praperadilan," tegas Kurnia.
Dikritisi para mantan
Tak hanya ICW, sejumlah mantan pejabat di KPK juga mengomentari keputusan KPK menerbitkan SP3 untuk kasus yang menjerat Sjamsul dan Itjih Nursalim serta eks Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung tersebut.
Eks Juru Bicara KPK Febri Diansyah dengan satirnya menyebut, SP3 yang pertama kali dikeluarkan KPK ini sebagai, "salah satu bukti manfaat revisi UU KPK," ungkapnya melalui akun Twitter-nya @febridiansyah.
Dia pun menyinggung pernyataan pimpinan KPK yang mengatakan revisi UU KPK adalah wujud penguatan bukan pelemahan. Sehingga, para koruptor perlu berterimakasih pada pihak yang telah merevisi UU KPK.
"KPK mengumumkan kasus perdana yg di-SP3. Kasus yg sebelumnua disidik dg indikasi kerugian negara Rp4,58Trliun," kata pegiat antikorupsi ini.
"Ingat ya, seperti sering diulang Pimpinan KPK saat ini: KPK TIDAK LEMAH! Revisi UU KPK semakin memperkuat KPK," tambah Febri.
Sementara Saut Situmorang, eks Wakil Ketua KPK menganggap komisi antirasuah ini jadi tak jelas setelah menerbitkan SP3 terhadap kasus dugaan korupsi SKL BLBI. Dia bahkan menyebut, hal semacam ini sudah diperkirakan akan terjadi.
"Itu sudah diperkirakan seperti itu. Hukum memang akan ada paradoksnya kalau tidak memakai hati nurani. Hukum dan badan antikorupsi kita saat ini memang antara menjadi pasti atau semakin tidak pasti," kata Saut saat dihubungi melalui pesan singkat.
Saut mengatakan, semua pihak diminta untuk terus memperhatikan hal ini. Sebab, bukan tak mungkin nantinya berbagai alasan menjadi pembenaran terhadap penghentian kasus korupsi termasuk BLBI. "Semuanya bisa dijustifikasi antara apakah SP3 kasus itu hitam atau putih. Nikmati sajalah jalan ceritanya," tegasnya.
Sebelumya, KPK secara resmi menghentikan penyidikan terhadap kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selain itu, komisi antirasuah membuka peluang untuk menghentikan penyidikan terhadap kasus lama lainnya.
Melalui konferensi pers, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan kasus korupsi SKL BLBI yang melibatkan tiga orang yaitu Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim serta Syafruddin Arsyad Tumenggung. Ini merupakan kali pertama, KPK menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntan (SP3) dalam pengusutan sebuah kasus korupsi.
"Kami mengumumkan penghentian penyidikan terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka SN (Sjamsul Nursalim) selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional (BDNI) dan ISN (Itjih Sjamsul Nursalim), bersama dengan SAT (Syafruddin Arsyad Tumenggung) selaku ketua BPPN," kata Alex seperti dikutip dari akun YouTube KPK RI, Kamis, 1 April.
Dia memaparkan, penghentian penyidikan ini sudah berdasarkan dengan Pasal 40 UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Sebagai penegak hukum, kata Alex, tentu komisi antirasuah harus menaatinya.
Dirinya juga mengatakan, diterbitkannya Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) ini juga dilakukan sebagai wujud memberikan kepastian hukum sesuai dengan aturan yang berlaku. "Sebagaimana amanat Pasal 5 UU KPK yaitu dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada asas kepastian hukum," tegasnya.