Kewajiban Bekerja Paruh Waktu bagi Penerima Beasiswa adalah Bentuk Perbudakan Modern

JAKARTA – Keputusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mewajibkan penerima beasiswa pengurangan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bekerja paruh waktu kian memperjelas orientasi kampus yang memang mengarah ke komersialisasi dan liberalisasi pendidikan.

Salah satu kampus terbaik Indonesia, ITB, kembali menjadi sorotan setelah mengeluarkan kebijakan anyar yang menuai protes dari mahasiswa dan masyarakat luas. Kali ini kampus yang terletak di Bandung, Jawa Barat, mewajibkan kerja paruh waktu untuk mahasiswa yang mendapatkan beasiswa keringan uang kuliah tunggal atau UKT.

Kewajiban mahasiswa penerima beasiswa uang kuliah tunggal atau UKT untuk bekerja secara paruh waktu di kampus itu termaktub dalam Peraturan Rektor ITB Nomor 316/ITl.NPER/2022 tentang Kemahasiswaan ITB, tepatnya di pasal 5 ayat 4 c dan d.

Mahasiswa ITB melakukan aksi unjuk rasa terkait pembayaran UKT menggunakan skema pinjol, di depan Gedung Rektorat ITB, Jalan Sulanjana, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (29/1/2024). (X)

Polemik kewajiban kerja paruh waktu ini berawal dari beredarnya tangkapan layar surat elektronik di media sosial pada 24 September 2024. Dalam surat tersebut berisi pengumuman dari Direktorat Pendidikan ITB kepada mahasiswa penerima dan calon penerima pengurangan UKT.

“Mahasiswa sekalian, ITB membuat kebijakan kepada seluruh mahasiswa ITB yang menerima beasiswa UKT, yaitu beasiswa dalam bentuk pengurangan UKT, diwajibkan melakukan kerja paruh waktu untuk ITB," demikian seruan kampus ITB yang disebar melalui surel. 

Beasiswa Bukan Program Kemurahan Hati Kampus

Kebijakan teranyar ini membuat ITB kembali menjadi sorotan. Apalagi sebelumnya, kampus yang sama juga sempat diperbincangkan lantaran memberi opsi pinjaman online atau pinjol kepada mahasiswa yang menunggak UKT.

Namun belakangan, kewajiban mahasiswa calon dan penerima beasiswa untuk bekerja paruh waktu diluruskan pihak kampus. Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB Naomi Haswanto menegaskan, tawaran bekerja paruh waktu bukan sebuah kewajiban, melainkan hanya opsi sehingga jika tidak ikut pun tidak akan masalah. Menurut Naomi, informasi yang tersebar ke mahasiwa kurang lengkap sehingga menimbulkan salah persepsi.

“Jadi yang ada miss, kesalahpahaman itu memang email yang di-blasting ke mahasiswa,” ujarnya.

Ia berdalih pengiriman surat elektronik itu dilakukan segera karena ITB sedang mendata mahasiswa yang ingin menjadi asisten seiring masa perkuliahan dan praktikum pada semester ini. Selain itu, menurut Naomi, sasaran surat elektronik itu seharusnya ditujukan ke kalangan mahasiswa tertentu. Karena salah sasaran maka surat elektronik soal kerja paruh waktu itu ditarik lagi untuk diperbaiki.

“Jadi kita di sini tidak bilang batal nggak batal tapi diturunkan untuk diperbaiki, nanti mahasiswa dikasih email lagi,” kata dia.

Terlepas dari pembelaan Naomi, surat elektronik yang sudah terlanjur beredar di medsos ini tentunya membawa publik kembali menyorot ITB. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji kebijakan tersebut memperjelas orientasi kampus yang memang mengarah ke komersialisasi dan liberalisasi pendidikan.

Kewajiban kerja paruh waktu tanpa upah yang diduga dilakukan ITB terindikasi eksploitasi. (Unsplash)

Berangkat dari kasus kewajiban kerja paruh waktu di ITB, praktik komersialisasi di pendidikan tinggi ternyata juga dimeriahkan dengan legalisasi perbudakan mahasiswa di kampus. Ia pun dengan tegas membeberkan alasannya menolak syarat wajib kerja paruh waktu yang dibebankan kepada calon dan penerima beasiswa keringanan UKT di ITB.

Pertama, beasiswa adalah hak yang harus diperoleh mahasiswa, khususnya bagi mereka yang mempunyai keterbatasan ekonomi. Beasiswa bukanlah program kemurahan hati pemerintah atau kampus negeri, lalu mahasiswa diwajibkan untuk melakukan tindakan balas budi dengan bersedia bekerja paruh waktu di kampus.

Hal ini, menurut Ubaid tertera di Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 dan 34, yang jelas mewajibkan pemerintah untuk menyediakan pembiayaan pendidikan dan juga bertanggung jawab untuk mensejahterakan masyarkat, khususnya dikalangan ekonomi lemah. Karena itu, beasiswa adalah hak mahasiswa dan kewajiban konstitusional yang harus ditunaikan oleh pemerintah.

“Kedua, kampus negeri, seperti ITB, adalah kepanjangan tangan dari layanan pemerintah di pendidikan tinggi. Untuk itu, beban pembiayaan kampus mestinya dibebankan pada APBN, bukan malah dibebankan kepada masyarakat,” kata Ubaid dalam keterangan yang diterima VOI.

Ia menambahkan, dengan anggaran pendidikan yang fantastis mencapai Rp665 triliun di tahun 2024 dan naik menjadi Rp722 triliun di 2025, kuliah tanpa dipungut biaya di PTN, sangat mungkin di lakukan.

“Kuliah menjadi mahal karena investasi pemerintah terhadap urusan pendidikan tinggi masih sangat minim, karena itu biaya kuliah mahal. Ini tidak hanya sebatas stigma tapi memang nyata benar adanya,” ujar Ubaid.

Indikasi Eksploitasi

Kembali ke kabar ITB mewajibkan penerima beasiswa keringanan UKT untuk bekerja paruh waktu, kata Ubaid ini seperti perbudakan modern yang harus diwaspadai. Terutama, menurut pengamatannya ini bukan kasus kali pertama yang muncul di lingkungan kampus.

Ia mencontohkan program Kampus Merdeka, dalam beberapa tahun terakhir menyulut protes karena ada kasus-kasus dugaan praktik perdagangan manusia berkedok mahasiswa magang, baik di dalam maupun luar negeri.

“Jadi bekerja paruh waktu di kampus itu bukanlah kewajiban mahasiswa penerima beasiswa, tugas mereka adalah belajar di kampus, bukan bekerja. Justru pemberian beasiswa ini adalah kewajiban konstitusional yang harus ditunaikan oleh pemerintah (pengelola kampus negeri) kepada mahasiswa,” ucap Ubaid. 

Senada, dosen hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Nabiyla Risfa Izzati mengatakan ada indikasi eksploitasi dalam kebijakan kerja paruh waktu yang diwajibkan oleh ITB kepada penerima beasiswa. 

Nabiyla menuturkan, hubungan antara pemberi dan penerima beasiswa dengan hubungan antara pekerja dan pemberi kerja adalah dua hal yang sangat berbeda. Sebab, hubungan kerja adalah hubungan yang sangat spesifik.

“Berarti apakah ITB dalam hal ini ingin mengatakan bahwa beasiswa yang mereka berikan kepada mahasiswa adalah upah dari pekerjaan yang dilakukan?” kata Nabiyla, mengutip Tempo.

Karena dalam konteks hubungan kerja, lanjut Nabiyla, pemberi kerja wajib memenuhi hak-hak pekerja, mulai dari upah hingga jaminan sosial ketenagakerjaan. Selain itu, menurut dia, mahasiswa yang bekerja paruh waktu di universitas memang hal yang lazim. Tapi, pekerjaan itu bertujuan untuk memperoleh penghasilan tambahan.

“Di universitas-universitas kan sebenarnya juga mengenal ya ada mahasiswa yg dipekerjakan sebagai pekerja paruh waktu dalam beragam bentuk. Dan itu biasanya sama sekali tidak dikaitkan dengan beasiswa,” kata dia.

Nabiyla juga mengatakan, apabila ITB tidak memberikan upah atas pekerjaan paruh waktu tersebut, maka ada indikasi eksploitasi. “Jadi jelas terlihat ada indikasi eksploitasi,” kata Nabiyla menyudahi.